Saat itu, makanan kami pun sangatlah sederhana sekali. Lauk telur sudah menjadi barang mewah. Itu pun sebutir yang harus dibelah dua atau empat agar semua anak mendapatkan jatahnya.
Untuk memenuhi kebutuhan gizi anaknya, ibu memelihara bebek dan ayam di pekarangan belakang rumah. Telur dikonsumsi untuk lauk makan kami.
Ibu bukan orang yang berpendidikan, hanya bisa baca tulis sekedarnya. Gelarnya pun STTD (Sekolah Tidak Tamat SD)
Mungkin karena kondisi itu pula yang membuat ibu mempunyai banyak akal. Ia selalu berpikir keras, bagaimana cara agar anak-anaknya mendapat makan yang cukup.
Sepulang dari warung, ibu berbelanja sayur dan lauk untuk keperluan makan sehari-hari. Tidak lupa juga ia selalu meminjamkan timbangan dacin kepada penjual ikan di pasar. Sebagai imbalan, ikan ia dapatkan dari sang penjual. Jadilah kami mendapatkan lauk mewah pada hari itu...
Aku kecil cukup nakal, malas sekolah. Satu kali diriku berpura-pura sakit. Sepulang dari warung, dengan kondisi yang amat lelah, ibu mengetahui kalau aku bolos sekolah. Murkalah beliau, Memar biru, hadiah yang ku terima karena cubitan ibu.
Sore menjelang malam, setelah aku tenang, tangisku pun reda. Ibu pun sudah sempat istirahat. Sambil berbaring dan memeluk diriku, ia berkata;
"Ibu tidak membenci kamu nak, ibu sangat sayang pada kamu... Ibu hanya ingin semua anakku dapat terus sekolah agar tidak jadi orang bodoh seperti diriku."
Ibuku bukan ahli psikologi, tapi beliau tahu kapan harus menyampaikan isi hati dan memberikan penjelasan bahwa apa yang dilakukannya bukan karena "kebencian." Sehingga aku kecil benar-benar mengerti bagaimana dirinya mencintaiku dan memikirkan masa depanku.
Ibu selalu menemani kakak-kakakku belajar sampai tengah malam. Sambil terkantuk-kantuk, ia tidak pernah mengeluh. Padahal esok hari sudah harus bangun pagi untuk mempersiapkan seluruh keperluan ayah, dan juga bagi kami semua, anak-anaknya.
Tidak ada "me time" buat dirimu, ibu. Sehari 24 jam, seluruh waktumu hanya untuk keluarga dan orang lain.