Menikah di usia yang sangat muda bukanlah keinginannya. Melahirkan sebelas orang anak pun bukan impiannya. Begitulah ibuku, menjalani hidup sebagai seorang perempuan di era kehidupannya.
"No choice", tidak ada pilihan. Seolah tidak ada hak berkata untuk menentukan apa yang ibu inginkan...
Tapi semuaya dijalani dan dilalui dengan semangat dan kasih yang tulus. Walau sesekali diselingi tangis dan air mata. Bukan karena kerasnya kehidupan, namun semata-mata hanya karena kenakalan anak-anaknya.
Menjadi istri seorang sopir angkot, membuatnya berpikir - bagaimana untuk hidup dan menghidupi sebelas orang buah hati.
Tidak banyak perempuan yang setangguh dan sehebat diri ibu. Naik-turun angkot, untuk berjualan kain. Berkeliling kampung, bermandikan keringat, itu sudah pasti. Karena dirinya harus memanggul kain dagangan yang terbungkus gembolan.
Setelah sekian lama berjualan keliling akhirnya ibu mampu memiliki sebuah warung kecil. Ibu yang semakin sibuk, tidak pernah mengurangi rasa cinta dan hormatnya kepada keluarga.
Masih melekat dalam ingatanku, betapa ibu memberikan perhatian dan kasihnya pada nenek. Sepulang dari warung, ibu selalu menyempatkan diri untuk singgah ke rumah nenek. Menjenguk dan membawakan makanan kesukaan nenek... daun sirih.
Tidak perlu makanan enak atau barang mewah untuk dapat membahagiakan orangtua. Cukup dengan perhatian dan kasih yang tulus, diekspresikan dengan tindakan.
Ibu tidak perlu berkata-kata dengan nasehat, bagaimana cara menghormati dan menyayangi orang tua. Hanya tindakan nyata yang dilakukannya, yang menjadi contoh dan guru bagi kami.
Sesibuk apapun, seberat apapun beban hidup ibu, tetap menyempatkan diri untuk memberi perhatian pada nenek.