Betapa kagetnya Gala melihat kumpulan manusia berhimpitan di dalam halte. Dia tidak menyangka jika harus berkompetisi dengan para pemilik wajah asli kota Jakarta di hari itu.
Titik awal adalah momen paling mendebarkan, rasanya semua perasaan sedang berpesta di dalam diri Gala. Ada si senang, abang seru, hadir pula si adik khawatir, belum lagi Om takut. Lengkap dah, serasa kondangan.
Ini hari pertama Gala memasuki kehidupan kuliah. Ini kali pertama dia harus naik transjakarta, membelah ibukota menyusuri kisah baru. Jarak tempuh ke sekolah menengah dekat rumahnya sekarang sisa kenangan. Tiada lagi sekadar menyeberangi jalan atau hanya naik angkot.Â
Keringat keluar, rasa cemas dan panasnya hawa di halte bikin Gala berkeringat. Nalurinya berontak, nuraninya terusik, sanubarinya berbisik;
"Gimana kalo hari pertama telat?"
"Boleh masuk apa engak nih?"
"Apa kata dosen dan temen-temen?"
"Dosen kampus kan pada killer, hari pertama udah indisipliner"
Semua kekalutan dan kekhawatiran bekerja sama, ngetuk-ngetuk pikiran, ngaduk-ngaduk perut, dan ngacak-ngacak perasaan.
Ini hari pertama lho Gala, momen yang mustinya jadi pengalaman yang seru, harusnya asik. Tapi, gara-gara telat, semua itu buyar berganti cemas dan khawatir.
Pasrah, Gala mengantri di antrian bus yang akan menuju kampusnya.
Tepat jam 8 pagi, bus berhenti di halte tujuan. Gala juga lupa kalau luas area universitas tidak sama dengan luas area SMA-nya dulu.
Turun dari angkutan umum, tiga menit jalan kaki, barulah sampai pintu kampus. Dan itu belum berakhir. Gala harus menyusuri lorong kampus yang panjang, menaiki tangga yang berjenjang, menyusuri aula yang menjulang.