Â
Dalam beberapa kesempatan, saya sering mempromosikan sebuah kata yang (mungkin) masih terasa asing, yakni: Mudita, atau biasanya lengkap: Mudita-Citta.
Istilah Mudita ini memang khusus, sangat sektarian. Hanya sering terdengar dari filsafat Buddhism. Artinya; perasaan bahagia melihat kebahagiaan orang lain.
Tapi, yang membuat kata ini menarik adalah karena padanannya yang membingungkan.
Mungkin ada sukacita. Tapi, berdasarkan KBBI, artinya adalah; suka hati; girang hati; kegirangan. Tidak melambangkan arti lengkap dari mudita-citta.
Atau bisa juga simpati. Istilah ini mungkin lebih tepat. Versi KBBI-nya adalah: rasa kasih; rasa senang. Sementara bersimpati adalah; keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Bisa jadi ini adalah padanan kata yang lebih tepat.
Istilah lain yang juga mirip, adalah empati. Dalam KBBI artinya: Keadaan mental yang membuat seseorang merasakan perasaan / pikiran yang sama dengan orang lain (atau kelompok lain).
Namun, dalam filsafat Buddhism, Mudita memiliki arti yang lebih luas dari sekadar simpati dan empati.
Mari kita ulik;
Pertama. Saya bersimpati terhadap seseorang yang menyisihkan hartanya bagi kaum dhuafa. Tapi, jika hanya untuk pamer di medsos, mungkin rasa simpati saya berkurang. Untuk kasus ini, ambillah contoh kasus Baim Wong dengan Kakek Suhud. Â
Kedua. Saya berempati terhadap seseorang yang baru saja bebas dari penjara. Sebabnya ia adalah nenek Minah yang pernah heboh gegara "mencuri" coklat. Namun, saya tidak berempati kepada Saiful jamil. Ulahnya itu lho. Bikin enek. Jadilah cancel culture namanya. Apa-apa boikot.