"Zell fex traz lex Axtraliz zon Meltra." Â Teddy bear itu berkata dalam bahasa asing.Â
"Zell xe Mor fex yox Axtraliz zon Ylovoz." Si cupid hijau membalas perkataan dia.Â
"Xe. Xe. Zell ghrod lex Axtralix zon Meltra." Â Teddy membalas lagi.Â
Teddy bear itu berkata-kata dengan sebuah mantra yang aku susah tangkap lagi. Terdengar seperti bersiul. Setelah dia mengucapkan mantra tersebut muncul serbuk-serbuk biru berterbangan sekitarku. Aku melihat salah satu serbuk tersebut berbentuk peri kecil warna biru. Peri-peri biru tersebut masuk ke dalam telingaku dan mulutku dan juga mereka menyentuh mataku juga. Mereka seperti melakukan sesuatu kepada aku. Aku berusaha menghindar. Peri-peri biru ini berbau wangi seperti wangi campuran bunga.Â
"Penyihir kamu bisa mendengarkan aku?" Perkataan teddy bear mulai dimengerti oleh diriku sendiri. Ternyata peri-peri tersebut sebagai alat penerjemah. Â Suara Teddy bear yang bersayap itu seperti suara laki-laki dewasa yang berumur 30an.
"Aku bisa mengerti bahasa kamu?"
"Trixel itu yang membantu kamu untuk berbicara bahasa Axtraliz. Nah sekarang kamu bisa membuka Ylovoz."
"Ylovoz?" Aku mulia bingung apa yang dimaksud.
"Iya pintu menuju dunia Axtraliz." Cupid itu hijau juga berkata juga. Suara cupid hijau ini seperti suara kartun orang yang licik.
"Aku tidak tahu cara membukanya."Â
"Penyihir, tadi kamu membuka Ylovoz dan kamu lupa akan kami. Kami berdua ketinggalan di dunia sini."Â