Mohon tunggu...
A.S. Adam
A.S. Adam Mohon Tunggu... Editor - Jurnalis

Hemat suaramu dan ambil penamu. (AS Adam)

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres 2014: Perang Dua Rezim

6 Juni 2014   20:49 Diperbarui: 20 September 2023   02:35 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

MEMASUKI masa kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2014, isu-isu sara ‘telak’ mencuat ke publik. Media massa saling dukung kelompok dengan pencitraan. Pejabat negara terlibat kampanye politik praktis.

Diamati lebih jauh, banyak pejabat negara, seperti: gubernur, bupati hingga wali kota, seharusnya tidak terlibat langsung dalam kampanye. Pejabat negara yang terlibat langsung pantasnya mengundurkan diri.

Sikap netral pejabat negara sangat dibutuhkan untuk menghindari kecurangan agar tidak terjadi konflik.

Para pejabat negara memiliki posisi strategis sebagai alat propaganda bagi calon yang dipilih.

Menjadi jurkam adalah hak anggota partai. Namun, apakah lantas pejabat negara dihalalkan menjadi jurkam?

Mengamati Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur soal keterlibatan menteri dalam tim kampanye capres, pada Pasal 62 dan Pasal 63, justru ganjil.

Jika TNI dan Polri, yang juga merupakan pejabat negara diwajibkan bersikap netral, mengapa lantas tidak bagi pejabat negara lainnya? Artinya, ini bukan demokrasi yang baik.

Saya khawatir kita justru masih dalam cengkraman rezim otoriter yang memperbolehkan pejabat untuk terlibat kampanye. Ini berbahaya! Jika demikian, Indonesia bukan sepenuhnya milik ‘rakyat’, melainkan “rakyat”!

Pada Ahad lalu, 1 Juni 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai Panitia Penyelenggara Pilpres 2014 telah mengundi dan menetapkan nomor urut pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada 2014.

Seluruh rakyat Indonesia−tanpa terkecuali−berharap segera memiliki pemimpin yang sesuai dengan cita-cita dan harapan bangsa.

Namun, pada Pilpres 2014 rakyat Indonesia justru mudah diadu-domba akibatnya terjadi konflik pada kampanye Pilpres 2014.

Cara-cara tidak santun dan saling menghujat justru akan memperparah konflik baru.

Dua kubu Prabowo dan Jokowi, membangun isu politik publik untuk menarik perhatian calon pemilihnya. Masing-masing kubu sengaja memunculkan sosok presiden yang pernah memimpin Indonesia. Misalnya, Soekarno vs Soeharto.

Para pendukung dari kedua kubu saling mencaci dan menghujat saling menjatuhkan kehormatan dan martabat calon presiden melalui media massa.

Padahal, media massa yang berpihak kepada satu pasangan capres mencerminkan rendahnya moralitas dan intelektualitas orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Padahal, para calon presiden itu juga bakal menjadi pemimpin bangsa Indonesia.

Pada titik ini sudah waktunya bangsa Indonesia melakukan pembenahan diri dengan tidak melalui cara-cara yang buruk. 

Konflik itulah yang diharapkan oleh negara barat agar bangsa Indonesia saling serang. Dengan begitu, bangsa ini mudah dikuasai.

Jika ‘rakyat Indonesia’ dan para ‘pemimpin bangsa’ tetap tidur dan bersikap egois, saya khawatir tahun 2015 justru menjadi petaka bagi Indonesia.

Menurut Antonio Gramsci yang diterjemahkan oleh Arief Budiman dalam bukunya “Kebebasan Negara, Pembangunan”, bahwa kekuasaan itu ditegakkan oleh dua pilar: pilar idelogi dan pilar militer. 

Kekuatan militer yang mempertahankan kekuasaan sangatlah besar biayanya. Rakyat diancam dan ditakuti. Selalu berada dalam ketegangan. 

Karena itu, Napoleon pernah berkata, “Anda bisa menaklukan orang dengan bayonet, tetapi, Anda tidak bisa duduk berkuasa di atas bayonet.” 

Begitu penguasa lengah, maka, rakyat memberontak kekuasaan yang ditegakkan oleh kekuatan militer.

Ini juga pernah ditulis dalam buku Babad Tanah Jawi oleh Jayabaya, Raja Kediri, sekira tahun 1135-1157 “Tikus pithi anata baris”.

Barangkali untuk sekarang golput hukumnya tidak wajib, tetapi jika nanti pilpres tidak sesuai dengan keinginan rakyat; apa boleh buat, golput menjadi halal! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun