Di masyarakat Minang, terutama di Desa Sontang Kabupaten Pamasan, ada tradisi Balimau yang dilakukan untuk menyambut bulan Ramadhan. Tradisi Balimau di Minangkabau memiliki arti yang sama dengan tradisi Batak yang disebut Marpangir dan juga tradisi Jawa yang disebut Padusan, yang berarti mensucikan diri sebelum berpuasa.
Masyarakat Minangkabau mengatakan tradisi mandi Balimau adalah kebiasaan yang telah lama ada di masyarakat Minangkabau dan biasanya dilakukan di daerah dengan sungai dan tempat pemandian. Tradisi tersebut menceritakan bahwa para pengunjung mandi seperti biasa, tetapi air yang dihasilkan dari rendaman bunga tujuh rupa yang dicampur dengan limau (jeruk nipis) diberikan di akhir. Masyarakat Minangkabau biasanya melakukan ritual Balimau sehari sebelum puasa, yaitu dari matahari terbit hingga terbenam.
Mensucikan diri secara alami berarti mandi. Di masa lalu, banyak orang tidak dapat mandi dengan bersih karena tidak ada sabun, banyak tempat kekurangan air, sibuk bekerja, dan faktor lainnya. Di beberapa wilayah Minangkabau, limau (jeruk nipis) digunakan sebagai pengganti sabun karena dapat melarutkan minyak atau keringat dari tubuh.
Tradisi Balimau dianggap sudah ada sejak penjajahan Belanda pada abad ke-19. Pada awalnya, ritual Balimau melibatkan mandi dengan limau, kasai (bunga rampai) dan beberapa jenis bunga lainnya pada hari terakhir bulan Sya'ban. Balimau juga sering disebut bakasai, yang berarti mandi dengan bunga rampai. Barulah seseorang berniat untuk berpuasa Ramadhan esok harinya setelah melihat Balimau atau Bakasai. Tradisi ini telah diwariskan dari nenek moyang ke generasi sekarang. Sesuai dengan ajaran agama Islam, latar belakang Balimau adalah membersihkan diri secara fisik dan mental sebelum memasuki bulan Ramadhan.
Tradisi lama ini sangat disukai dan disukai oleh orang Minangkabau, terutama remaja dan anak-anak. Namun, ada perubahan seiring berjalannya waktu, dan tradisi Balimau terus berubah seiring zaman. Ada perdebatan tentang apakah kebersihan lahiriyah mempengaruhi kebersihan ruhani. Namun, secara umum, makna Balimau sebagai representasi kebersihan mental telah berubah menjadi kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan.
Selama masa lalu, tradisi Balimau hanya melibatkan berkumpul bersama dan makan Balimau. Tradisi ini berubah seiring perkembangan zaman.Banyak hal yang tidak seharusnya terjadi selama perayaan Balimau telah berubah karena perubahan ini.Ornament-ornamen tertentu ditambahkan, seperti pesta musik (organ tunggal) oleh remaja, dan perayaan Balimau menjadi sarana ekonomi, seperti pembukaan ruang pemandian umum tanpa batasan.
Selain dari penambahan ornament-ornament, berikut ini perbedaan yang sangat mencolok dari Tradisi Balimau pada zaman dahulu dengan sekarang dalam perayaannya. Jika dahulu Balimau dijadikan sebagai tradisi atau adat untuk menyambut bulan suci Ramadhan sebagai simbol untuk mensucikan diri sehari sebelum puasa namun sekarang hal tersebut sudah berbeda lagi. Saat ini, Balimau lebih dimaknai dengan bertamasya ke tempat-tempat pemandian. Bahkan, para muda-mudi menjadikan momen ini sebagai ajang hura-hura dan berpacaran. Bagi remaja-remaja, Balimau hanya tinggal sebagai simbol. Balimau dijadikan alasan agar mendapatkan izin dari orang tua mereka untuk keluar bertamasya.
Masyarakat Minangkabau mengubah cara merayakan balimau. Setiap tahun, kepolisian setempat melakukan razia di tempat pemandian yang digunakan Balimau oleh masyarakat setempat untuk memantau dan memastikan bahwa tidak ada kejadian yang tidak diinginkan.
Akibat perubahan cara masyarakat merayakan Balimau saat ini, banyak orang tua khawatir anak-anak mereka akan melakukan hal-hal yang tidak baik karena perayaan yang sekarang menjadi ajang pacaran. Akibat banyaknya kasus yang terjadi karena perayaan Balimau, beberapa orang bahkan menganggapnya tidak layak lagi. Ada juga yang mengatakan bahwa Balimau bukanlah sesuatu yang baik untuk dilakukan.
Seperti yang dapat dilihat, setiap tahun, mandi Balimau telah dipenuhi dengan tindakan yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti berhura-hura, berboncengan dengan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, mandi massal yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang bercampur aduk, mabuk-mabukan, dan musik yang menjauh dari mengingat Allah. Namun, pada masa lalu, tradisi ini dianggap penting dan sakral. Anak kemenakan, menantu, mamak (paman), kepala adat, atau guru ngaji akan mengunjungi orang tua mereka untuk meminta maaf sebelum bulan puasa dan sholat maghrib.
Â