Mohon tunggu...
Gresa Grinaldi
Gresa Grinaldi Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Sejarah dan Pemikir Amatir

Sekedar tempat untuk menitipkan gagasan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menanggalkan Rasa Bangga

28 Agustus 2024   10:42 Diperbarui: 28 Agustus 2024   10:52 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita terbiasa berdiri tegap dengan panji-panji yang senantiasa mengiringi. Namun apakah hidup adalah selalu tentang terlihat? Apakah ia adalah suatu hal yang harus ditunjukkan dengan bangga? Ataukah hal itu merupakan sebuah kekeliruan yang selama ini terus kita lestarikan?

Bisingnya ruang-ruang sosial dengan ke-'aku'-an yang selalu terpampang pada panggung-panggung publik membuat kita memiliki pandangan yang terus terpolarisasi. Dalam hidup ini, kita seolah diantarkan untuk menjadi seseorang yang menyilaukan dengan ke-aku-an yang dimiliki; apakah akulah yang terbaik, apakah aku yang terpintar, atau pun aku-aku yang lain yang turut memenuhi ruang-ruang yang sudah semakin sempit.

Kebisingan yang terus-menerus menerjang seakan membuat ruang untuk bernafas menjadi semakin tidak ada. Rasanya, sulit untuk menjadi hal biasa yang penuh dengan makna tanpa mempersepit ruang orang lain. Bagiku, menanggalkan rasa bangga adalah suatu alternatif bagi kita untuk mengekspresikan diri secara leluasa namun tetap memberi orang lain ruang untuk tetap 'terlihat'.

Rasa-rasanya, ke-aku-an ini semakin membuat orang pusing tujuh keliling hanya untuk menyadarkan dunia bahwa akulah orang yang dicari-cari itu, atau akulah yang merupakan individu yang 'layak' mendapatkan semua yang tidak semua orang layak mendapatkannya.

Kecenderungan ini buat diriku semakin bertanya-tanya, yaitu apakah ruang-ruang sosial sudah pada hakikatnya menjadi ruang yang bising? ataukah ruang ini bisa menjadi suatu tempat yang inklusif sekaligus asertif bagi setiap insan?

Dari pertanyaan tersebut, diriku masihlah belum menemukan jawabannya. Akan tetapi, alangkah indahnya bilamana setiap interaksi yang kemudian mengalir kedalam ruang-ruang yang lebih besar bisa terpatri ke dalam nilai-nilai yang inklusif dan asertif? Dari membayangkannya saja, tidak terbayang sebagaimana sehatnya setiap interaksi yang ada; bukan saling mendahului melainkan saling memahami, bukan saling menunggu untuk berbicara, melainkan sama-sama saling antusias untuk mendengar.

Bagiku, setiap insan layak membuka ruang kecil yang apresiatif terhadap semua dan siapapun yang ada. Bagiku, hal kecil nan penting ini bisa membuka semua kejernihan yang ada; membersihkan semua kabut yang selama ini ada hanya karena hegemoni ke-aku-an yang semakin hari semakin membuat kita sulit melihat.

Menanggalkan rasa bangga adalah sebuah sikap yang bisa kita lakukan guna mengurangi kabut-kabut yang membuat kita sulit melihat diri kita sendiri, dan menerangi sudut-sudut yang belum pernah kita hormati sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun