Kita tahu bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci untuk melihat dunia lebih luas, mencari kepingan-kepingan kebenaran yang akan kita satukan guna membangun peradaban manusia.
Terkadang kita seolah 'menantang' jagat bahwasannya semua bisa ditaklulan dengan sistematika kalkulasi yang rasional. Tak sadar bahwa kita telah keliru. Dengan sesekali jumawa seolah-olah alam tunduk dihadapan kita dan diminta untuk mencium kaki kita.Â
Kemahadigdayaan ilmu pengetahuan terkadang bisa membuat kita merasa besar ataupun kecil. Besar dihadapan antar manusia dan kecil dihadapan alam semesta. Diam-diam kita bisa menertawakan kebodohan-kebodohan kecil yang sedang terjadi di alam kehidupan manusia. Hiburan sejenak dari rutinitas mempelajari semesta dan memperkaya peradaban manusia. Tapi kadangkala kita merasa berada di level yang berbeda.Â
Keangkuhan-keangkuhan tersebut yang harusnya dihindari. Jika kita tidak bisa mengontrol kekuatan super tersebut, hal tersebut malah akan membuat kita terpuruk. Nyatanya, bumi tetap harus dipijak. Cambridge? Oxford? Silakan busungkan dadamu, tapi jangan lupa untuk melihat kakimu.
Sudah selayaknya ilmu pengetahuan menjadi landasan yang utuh untuk bisa membuat kita berperilaku tulus, memakai hati dan bersimpati terhadap sesama. Bukan malah menjadi senjata untuk membuat orang lain gentar.Â
Tapi, tetap saja, kita tidak boleh berhenti mencari dan mempelajari. Umur manusia juga singkat, setidak-tidaknya kita tahu apa yang ada dibalik segala realitas ini.Â
Tulisan ini merupakan apresiasi kecil yang ditujukan kepada para filsuf-filsuf yang telah berhasil mendirikan pondasi pemikiran sistematis dan kritis, yang sangat membantu banyak bagi keberlangsungan kehidupan kita sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H