Ayam atau telur dahulu? Timnas atau kompetisi dulu? PSSI menjawab langsung dengan memberanikan diri menjadi host Piala Asia Putri U17 2024 yang diadakan di Bali bulan Mei 2024. Di kompetisi ini Indonesia berpartisipasi lagi, setelah terakhir kalinya ambil bagian pada tahun 2005.Â
Sudah jalani dua laga, proyek mercusuar PSSI ini menuai pro kontra usai Garuda Pertiwi kalah 1-6 dari Filipina, dan takluk selusin gol dari Korea Selatan. Pelatih Satoshi Mochizuki, yang didatangkan dari Jepang, melaporkan bahwa para pemain sangat terpukul atas hasil buruk yang telah mereka raih tersebut.
Menyisakan laga terakhir melawan Korea Utara, Minggu (12/5/2024), semoga Claudia Scheunemann dkk bisa tampil lebih baik dan membenahi satu per satu masalah yang sebenarnya baru mereka hadapi di turnamen ini.
Dilansir dari laman resmi PSSI via bolaports, Claudia Scheunemann (15 tahun) yang menjadi pencetak gol indah Indonesia ke gawang Filipina,menjelaskan dua permasalahan utama tersebut, yakni persiapan dan komunikasi.
"Kita sudah berusaha paling bagus. (Namun) Tim ini juga persiapan hanya satu bulan."
"Harus lebih banyak bicara lagi di atas lapangan. Di lapangan harus berisik, Jangan diam,"Â ujar keponakan pelatih Timo Scheunemann paska laga melawan Filipina.
Menjadi layak dibahas, bagaimana sepakbola putri di Indonesia akan berjalan kedepannya. Apakah ini hanya momen hype sesaat? Atau bisa diambil hikmah sebagai sebuah kesempatan besar?
Kesempatan Besar Bagi Siapapun Remaja Putri Indonesia
Saya mempunyai keyakinan, di pelosok desa tertentu, di gang-gang kampung di kawasan metropolis, ada sejumlah remaja putri Indonesia yang geregetan menonton dua laga Garuda Pertiwi lalu. Mungkin dalam hati, ada yang sampai berkata "Aku harusnya bisa berkostum Timnas Indonesia!"
Perhelatan Piala Asia Putri U17 ini, membuka dua sisi kesempatan besar bagi putri-putri Indonesia untuk men-seriusi dunia sepakbola.
Kesempatan pertama tentu ada di 23 pemain Garuda Pertiwi yang ditangani langsung oleh pelatih kaliber Satoshi Mochizuki.Â
Apapun hasil nanti di fase grup Piala Asia U17 ini, mereka telah memiliki bekal berlaga di level Internasional membela Merah-Putih. Sebuah kesempatan langka, yang harus dijadikan titik pijakan untuk mencapai level selanjutnya secara individual. Yang pasti, PSSI harus menjamin keberlangsungan Timnas ini untuk diikutkan kompetisi-kompetisi lainnya.
Persiapan yang sebelumnya dikeluhkan Claudia, akan membaik seiring bertambahnya waktu mereka bersama sebagai sebuah tim. Hasil dari turnamen ini tentu akan menjadi bahan evaluasi untuk membentuk tim yang lebih baik kedepannya bersama Coach Satoshi.
Berikutnya kesempatan kedua adalah bagi remaja putri lainnya yang belum ikut serta dalam audisi ataupun bermain di level klub amatir/pro. Gap skill-nya tidak terlalu jauh untuk dikejar, akan membuat suatu dorongan bagi siapapun remaja putri Indonesia ingin yangmengembangkan karier di dunia sepakbola.
Persaingan tidak seketat dan sebanyak pemain putra, maka para orangtua yang merasa anak gadisnya berbakat dalam olah bola, sudah sewajarnya mengambil kesempatan besar di depan mata ini.
Sinergitas Dalam Mengelola Sepakbola Putri Indonesia
Lalu akan muncul pertanyaan, bagaimana mungkin sepakbola putri sustain (berlanjut), wong belum ada Liga-nya?
Inilah yang akan menjadi proyek besar selanjutnya bagi semua stakeholder sepakbola. Sinergitas banyak pihak diperlukan untuk membangun ekosistem sepakbola putri yang baik.
Langkah pertama sudah dilalui, dengan mewujudkan Timnas dari kategori umur hingga senior sebagai muara sepakbolanya. Berikutnya adalah memikirkan membuat Liga Sepakbola Putri di Indonesia yang profesional dan berjenjang.
Profesional harus jadi poin penting, karena disisi inilah para pemain dapat menggantungkan hidupnya dalam karier sebagai pesepakbola. Plus point jika mampu serempak dengan proses berjenjang, seperti adanya Suratin Cup dan Elite Pro Akademi (EPA) di sektor pria.
Realitasnya bagaimana? Hanya pada tahun 2019, Liga 1 Putri digelar selama semusim, dan vakum hingga saat ini! PSSI sebenarnya mempunyai target untuk menggulirkan Liga 1 Putri pada tahun 2024 ini, dengan minimal 10 tim yang berpartisipasi.
Sepuluh tim tersebut tentu merupakan klub Liga 1 (pria) yang sanggup untuk membentuk tim sepakbola putri. Bisa jadi mungkin kompetisi hanya akan diselenggarakan di Pulau Jawa saja untuk meminimalisir anggaran.Â
Lebih baik diusahakan ada saja dahulu,berbarengan dengan Liga 1 musim depan sembari dievaluasi untuk tahun berikutnya. Daripada menunda hingga waktu yang tidak bisa dipastikan.
Sinergitas berikutnya, adalah mengirim pemain-pemain yang sudah terlihat "bertalenta", ke sejumlah klub luar negeri. Ini sudah dilakukan kepada Zahra Muzdalifah, punggawa Timnas Putri Senior, yang kini bermain di klub Cerezo Osaka, satu klub dengan Justin Hubner.
Beberapa channel yang dimiliki pengusaha Indonesia, seperti Como (Italia), Cerezo Osaka (Jepang), Tranmere Rovers dan Oxford United (Inggris) bisa dimanfaatkan untuk menampung bakat-bakat putri terbaik.Â
Terakhir, menurut saya pribadi adalah sinergitas dengan cabang futsal. Tidak dapat dipungkiri, bahwa lapangan sepakbola yang mumpuni jumlahnya lebih terbatas dibandingkan dengan lapangan futsal. Itulah sebabnya, akan lebih mudah membentuk tim futsal (putri) dibandingkan tim sepakbolanya.
Futsal yang hanya menggunakan lima pemain di lapangan, akan mempermudah menyortir pemain putri kedalam level kompetisi. Sinergitas bisa dijalankan PSSI, jika ada pemain yang terindikasi lebih cocok bermain di lapangan besar daripada lapangan futsal. Peran dari asprov sangatlah besar dalam kesinambungan proses ini.
Rencana Cadangan Sepakbola Putri Indonesia
Lalu orangtua calon pespakbola putri akan bertanya, bagaimana rencana cadangannya? Kalau putrinya malah cedera? Jika waktu yang dikorbankan tak juga menemui hasil di level kompetisi sepakbola? Tentu ini menjadi pemikiran yang wajar, apalagi mengenai stigma sepakbola adalah olahraga kaum Adam.
Saya disini hanya bisa memberikan contoh, dimana kemajuan teknologi dan informasi bisa menjadi solusinya. Ada dua nama wanita yang tidak berkecimpung di sepakbola (level kompetisi), tetapi sangat tenar di dunia maya. Mereka adalah Celine Dept dan Natalia Guitler.
Celine Dept telah terasosiasi menjadi influencer sepakbola putri ternama, dengan menyuguhkan konten sepakbola sebagai rutinitasnya. Ia yang dulu sempat bermain di level klub, "menyambi" jalan bercabang dalam menekuni dunia olah bola yang dicintainya. Hasilnya, ia telah malang melintang berkolaborasi konten dengan pesepakbola papan atas dunia!
Seperti Celine Dept yang membuat back-up plan (rencana cadangan) dalam karier awal sepakbolanya, pesepakbola putri Indonesia dapat meniru dan memodifikasi konten-kontennya. Bisa juga berupa konten podcast dengan pesepakbola, dan lain sebagainya.
Berbeda lagi dengan Natalia Guitler asal Brasil, yang tenar berkat kemampuannya melakukan juggling bola, berujung dirinya menjadi atlet teqball ternama. Teqball adalah permainan seperti tenis meja/pingpong dimana dimainkan menggunakan bola sepak dan bagian tubuh (selain tangan) sebagai pemukulnya.
Olahraga ini mulai digandrungi banyak pihak, selain freestyle football.Â
Kemudian ada juga adaptasi sepakbola lain yang belum masuk di Indonesia, seperti sepakbola pantai dan 7 vs 7 (Kings League) dimana bisa juga menjadi back-up plan karier pesepakbola wanita maupun pria.
Keterbukaan terhadap peluang adalah kunci dalam setiap perkembangan dunia sepakbola Indonesia. Sudah saatnya kita tidak menjadi katak dalam tempurung, dengan hanya menjadi obyek sepakbola dengan basis fans terbesar di dunia. Indonesia juga harus bisa memproduksi Timnas, Liga dan suguhan olah bola berkualitas kedepannya. Semoga.
Salam olahraga
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI