Bermula dari keputusan mengejutkan Jurgen Klopp untuk menyudahi masa baktinya di Liverpool pada akhir musim, dua manajer klub lain bersepakat dengan manajeman untuk lakukan hal serupa. Meski berbeda alasan, ternyata keputusan pisah "terjadwal" ini membuat Xavi Hernandez dan Thomas Tuchel malah raih hasil baik usai maklumat resmi termaktub.
Para pemain yang mendengar kabar tersebut, awalnya tentu kaget. Namun seiring waktu mereka mulai memahami bahwa roda memang harus berputar, dan kini spirit mereka bagi Sang Manajer adalah memberi kado perpisahan terbaik, before you go.
Tren ini sebelumnya jarang terjadi di musim-musim lampau. Dimungkinkan bahwa kestabilan dan finansial klub menjadi landasannya. Menghindari shock effect jangka pendek, perpisahan terencana ini diharap bisa melancarkan estafet kepemimpinan tim, yang memang seyogyanya dilakukan di awal musim.
Satu yang pasti, dengan jaminan manajer bisa menyelesaikan pekerjaannya hingga akhir musim, tentu mereka akan lebih tenang dari rongrongan kabar pemecatan yang bisa datang sewaktu-waktu.
Jadi, mari kita bahas satu per satu bagaimana peluang Liverpool, Barcelona dan Bayern Munchen bisa tutup musim ini dengan indah bersama ketiga manajer tersebut.
Musim Terindah Sebagai Penutup Era Jurgen Klopp
Usai tampil buruk di Premier League musim lalu (2022/2023) Liverpool gagal berpartisipasi di UCL musim ini. Tetapi siapa sangka dengan pembelian tepat guna seperti Alexis Mac Allister, Dominik Szoboszlai dan Wataru Endo, pasukan Jurgen Klopp bisa berpeluang meraih treble winner.
Sebelumnya mereka bahkan sempat dijagokan untuk bisa meraup quadruple, namun harus kalah secara dramatis oleh Manchester United di perempatfinal FA Cup, Minggu (17/3/2024) lalu. (BACA : Angan Quadruple The Reds Pupus di Theatre of Dreams, MU Lolos Semifinal FA Cup!)
Dengan demikian akan tersisa dua kompetisi di depan mata The Reds, yakni Premier League dan UEFA Europa League (UEL) untuk melengkapi trofi Carabao Cup yang sudah sukses digondol usai kalahkan Chelsea di Final.
Kegamangan Liverpuldian mengenai kans treble Liverpool masih sama seperti musim-musim sebelumnya, yakni karena timpangnya skuad inti dan cadangan. Sebutlah musim lalu sebagai musim gagal Klopp, lebih banyak dikarenakan cedera yang bergantian menimpa Mohamed Salah, Virgil van Dijk dan Jordan Henderson, tidak bisa ditutup oleh performa apik Darwin Nunez dan lainnya.
Namun beda cerita dengan musim ini, Jurgen Klopp bisa mengkombinasikan pemain-pemain senior, rekrutan top, dan bocah-bocah akademi secara sinergis. Berlaga di Europa League adalah salah satu blessing in disguise-nya!
Dengan tekanan tidak sebesar ketika tampil di UCL, Klopp bisa dengan rutin memainkan para pemain berpotensi seperti Jarell Quansah, Conor Bradley dan Bobby Clark untuk menambah mental bermain di level Eropa. Pengalaman inilah yang akhirnya menempa mereka dan berhasil ditunjukkan di level domestik.
Menutup pengabdiannya di musim ke-9 bersama panji Liverpool, peluang terbesarnya menambah gelar adalah di ajang Europa League. Di babak perempatfinal UEL, The Reds sudah terundi akan melawan Atalanta dan berada di jalur final bersama laga Benfica versus Marseille. Jika melewati dua hadangan tersebut, Bayer Leverkusen dijagokan akan bersua mereka di Dublin pada laga Final.
Agak terasa sedikit hiperbolik, tetapi melihat hasil-hasil ke belakang dengan berbagai kemenangan telak yang di raih di ajang kelas dua Eropa ini, UEL tak lebihnya "tempat bermain" bagi Liverpool. Kualitas mereka adalah bersaing di UCL, dan ini tidak dimiliki tujuh tim lainnya di babak ini!
Lalu yang menjadi tantangan sesungguhnya bagi Klopp tentu ialah Premier League. Ia mengeluarkan frasa "kehabisan energi" dalam pengumuman resign 26 Januari lalu. Tentu ini juga mengandung psywar kepada kedua pesaing terdekat, Arsenal dan Manchester City.
Lontaran itu bisa dicerna oleh pihak lawan bahwa mereka akan menghadapi Klopp yang setengah energi, Klopp yang setengah fokus ataupun Klopp yang mungkin setengah hati di sisa musim.
Meski yang terjadi justru kebalikannya! Skuad Liverpool malah terbakar semangatnya dan ingin memberikan kado perpisahan terbaik bagi Sang Manajer Legendaris.
Dengan sementara berada di peringkat kedua Liga Inggris, dan hanya kalah selisih gol dari Arsenal, The Reds beruntung telah menyudahi seluruh laga melawan pesaing langsungnya itu. Arsenal dan Manchester City masih harus bertarung pada 31 Maret, dan inilah waktu terbaik untuk mengambil alih pimpinan klasemen.
Prediksi di akhir musim? Mungkin bisa mengutip pernyataan Michael Owen. "Hati ingin Liverpool yang juara, tetapi kepala berkata Manchester City". Semoga kata hatilah yang terwujud.
Masalah Financial Klub Biang Kegerahan Xavi Hernandez?
Fans Barcelona boleh saja menghujat gelar La Liga musim lalu diperoleh pasukan Xavi Hernandez secara tidak "Barca banget". Mereka lebih sering bermain pragmatis dan memenangkan laga dengan selisih satu gol, dan beruntung pula Real Madrid juga tengah goyah.
Tetapi ada satu hal yang harus diingat, bahwa Xavi Hernandez melakukan banyak hal untuk menutupi masalah terbesar Barcelona, yakni kebobrokan finansial. Kekacauan ini merupakan imbas buruk dari kepemimpinan Presiden sebelumnya, Josep Bartomeu.
Beberapa "tuas finansial" harus ditarik untuk menyelamatkan kondisi keuangan klub, yang pada Oktober 2023 lalu tercatat masih menunggak angsuran transfer pemain sebesar 200 juta Euro.
Xavi Hernandez mungkin satu-satunya pelatih Blaugrana yang paling tidak bebas melakukan transfer pemain. Ia hanya bisa membeli Lewandowski, Raphinha dan Jules Kounde di musim lalu. Lebih parahnya pada musim ini, ia hanya bisa meminjam Joao Cancelo dan Joao Felix, serta membeli secara gratis Ilkay Gundogan dan Inigo Martinez. Pembelian Vitor Roque lebih hanya menjadi "peredam amarahnya".
Sebagai legenda klub yang juga berasal dari akademi La Masia, Xavi masih berupaya "menyelamatkan" musim Barcelona dengan mempromosikan Lamine Yamal, Fermin Lopez dan Pau Cubarsi bersama dengan Alejandro Balde yang sudah duluan tampil sejak musim lalu.
Permasalahan terbesar yang mungkin membuat Xavi geram hingga umumkan mundur, ialah Barcelona dikabarkan harus rela menjual bintang-bintang mudanya tersebut untuk selamatkan finansial klub!
Ini pernah ditanyakan kepada Presiden Joan Laporta di World Football Summit akhir Februari lalu. Ketika dikonfrontir apakah Barcelona akan menjadi next-Ajax Amsterdam dengan menjadi klub penjual pemain-pemain berbakat, Sang Presiden masih menampiknya. Meski sudah menjadi rahasia umum, tuas berikutnya yang harus ditarik, ya dengan menjual pemain!
Pedri, Gavi, Alejandro Balde, Jules Kounde, Ronald Araujo, Frenkie De Jong, Lamine Yamal, Fermin Lopez dan Ferran Torres yang mayoritas dipagari buyout-clause dengan harga "gila", bisa saja pindah pada harga pasar di bursa Juni-Juli nanti.
Potensi inilah yang membuat Xavi merasa tertekan, apalagi di tengah kondisi Real Madrid yang sedang superior. Jadilah ia "meledak" dan membuat pengumuman sepihak usai kekalahan telak 3-5 dari Villareal, 28 Januari 2024.
Semua pihak kebakaran jenggot dengan pengumuman mundurnya Xavi, termasuk Joan Laporta. Meski demikian, ada perasaan saling menghargai diantara keduanya karena Xavi adalah legenda Barcelona yang akan selalu punya cinta untuk klub Catalan tersebut. Berpisah di akhir musim adalah win-win solution-nya, dan inilah titik balik Barcelona musim ini.
Sempat terseok-seok di papan atas La Liga, Barcelona kini sudah menyalip Girona di urutan kedua dengan 64 poin dan hanya tertinggal 8 poin dari Los Blancos. Rentetan tujuh kemenangan dan tiga kali seri tanpa kekalahan jadi bukti mujarabnya pengumuman mundur Xavi usai kalah dari Villareal.
Perubahan paling nyata adalah tim Barcelona lebih kompak dalam bermain. Pemain-pemain senior seperti Lewandowski, Sergi Roberto, Gundogan dan Ter Stegen bisa step up memberikan teladan dengan performa bagusnya. Barcelona yang diinginkan fans Cules bermain tiki-taka dan menyerang sudah terlihat kembali.
Gelar yang masih bisa diraih selain mission imposible mengejar Real Madrid prkatis hanyalah UCL. Barcelona terundi di bagan yang sulit, dengan menghadapi PSG di partai perempatfinal. Jika bisa lolos dari Les Parisien, mereka akan disergap Real Madrid atau Manchester City di semifinal. Jujur saja, sampai semifinal UCL musim ini sudah merupakan prestasi bagus untuk Xavi Hernandez.
Bayern Munchen Tak Sebagus Itu di Mata Tuchel, dan Sebaliknya
Kasus terakhir ini yang akan terasa berbeda. Tidak ada ikatan apapun secara emosional antara Bayern Munchen dan Thomas Tuchel. Jadi, keputusan untuk berpisah di akhir musim adalah murni akumulasi hasil buruk dan ketidakcocokan di antara keduanya.
Memulai kiprahnya bersama Bayern Munchen di pertengahan musim lalu, Tuchel berhasil sumbangkan Bundesliga meski penuh dengan keberuntungan karena Dortmund terjegal di laga akhir.
Hal paling bagus yang dilakukannya setelah itu adalah mendaratkan Harry Kane ke Munich. Ini terbukti dengan besarnya sumbangsih gol Harry Kane bersama skuad Die Roten, dengan 37 gol dan 12 assist dalam 35 laga.
Musim ini harusnya berjalan biasa saja bagi Bayern, yang memang tiap tahun ditarget memperoleh tiga gelar. Bundesliga, DFB-Pokal, dan UCL. Namun ada dua klub yang membuat Tuchel tetiba digoyang posisinya.
Pertama adalah tim divisi tiga Liga Jerman, FC Saarbrucken yang singkirkan Bayern Munchen di babak kedua DFB Pokal dengan skor 1-2. Bermain dengan mayoritas pemain intinya, Die Roten tak kuasa menahan comeback tim beda level tersebut di babak kedua.
Tim kedua tentu adalah Bayer Leverkusen. Jika musim lalu Bayern Munchen melakukan two-horses-race bersama Borussia Dortmund, maka di musim ini mereka melakukannya bersama klub besutan Xabi Alonso. Celakanya bagi Bayern yang kerap terlambat panas di awal musim, Leverkusen sangat konsisten dan belum tersentuh kekalahan hingga pekan ke-26. Manuel Neuer dkk kini tertinggal 10 poin dari Die Werkself.
Tekanan dari Leverkusen yang terus menang inilah membuat Munchen goyah di beberapa kesempatan. Usai dibantai Leverkusen 0-3 dan kalah 0-1 dari Lazio di leg pertama 16 besar UCL, Thomas Tuchel dikabarkan marah besar kepada para pemainnya.
“Kamu tidak sebagus yang saya duga, maka saya hanya perlu beradaptasi dengan levelmu,” itulah amarahnya yang bocor ke media, dikutip dari vivagoal.
Meski sudah diklarifikasi oleh Tuchel bahwa maksud perkataannya tidak menyinggung kemampuan pemain, ia hanya bisa membuktikan ke banyak pihak bahwa memang kurang bisa menjaga harmoni di dalam tim.
Situasi yang memanas inilah yang membuat klub mengumumkan bahwa Thomas Tuchel hanya akan melanjutkan pekerjaannya sampai akhir musim. Tidak banyak pemain yang heran, hanya segelintir saja seperti Eric Dier yang mengaku cukup terkejut.
Lalu apa selanjutnya target Tuchel? Hanya satu saja, UCL. Untuk gelar Bundesliga, Tuchel sudah mengatakan tetap akan berjuang hingga secara matematis mereka gagal meyergap Leverkusen.
Performa Bayern secara mengejutkan mulai menanjak usai pengumuman perpisahan Tuchel. Mereka bisa melakukan revenge atas Lazio di Allianz Arena. Mereka kini berada di perempatfinal UCL dan terundi melawan Arsenal. Bagan jadwal mereka cukup nyaman, karena jika bisa kalahkan Arsenal, pemenang Atletico kontra Dortmund-lah yang akan menunggu.
Target minimal yang bisa diberikan kepada Tuchel di jangka pendek ini ialah tampil di Final UCL. Jika gagal merealisasikannya, bahkan jika makin tertinggal dari Leverkusen, jangan kaget kalau ia harus angkat kaki lebih cepat dari Allianz Arena sebelum musim berakhir.
Salam Olahraga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H