Mohon tunggu...
Gregory Hans Nugraha
Gregory Hans Nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

amdg

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Pengemudi Ojek-Online yang Dirampas

24 Oktober 2024   23:51 Diperbarui: 25 Oktober 2024   00:29 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi GoJek, salah satu platform ojek online (ojol) yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia.(Sumber: TechCrunch.com)

"Pendapatan GOTO Tumbuh 30% Jadi Rp 14,8 T di 2023, Rugi Terpangkas" - CNBC, 2024

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Dalam kata lain, manusia bergantung pada interaksi sosial dan juga orang lain dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Tidak mungkin ada seorang manusia yang dapat memenuhi semua kebutuhannya secara mandiri. Misalnya, seorang penjual bakso tidak mungkin menanam seledri, bawang, dan rempah-rempah yang digunakan dalam baksonya. Seorang pengusaha laundry juga tidak mungkin membuat pewangi, sistem drainase, dan terutama mesin cucinya dengan sendirinya. Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya manusia itu bergantung dengan satu-sama lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Untuk memenuhi kebutuhan seseorang, pastinya akan dibutuhkan usaha. Petani harus mengeluarkan tenaganya untuk menanam, menyiapkan irigasi, dan memanen padinya. Seorang insinyur harus membuat rancangan yang jelas, melakukan negosiasi dengan pembeli, dan juga merekayasa sebuah produk yang memenuhi kebutuhan dan permintaan. Semua usaha manusia membutuhkan waktu dan tenaga. Seperti kutipan Theopastrus yang mengatakan "Time is the most valuable thing a man can spend", jelas bahwa waktu yang dikeluarkan sangatlah berharga dan tidak bisa diputar balikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya usaha dan waktu yang dikeluarkan seseorang dalam memenuhi kebutuhan kita seharusnya dibayar dengan imbalan yang setimpal.

Jika mengulas kembali sejarah bisnis, awalnya bisnis dimulai dengan skala yang sangat kecil. Masyarakat tradisional atau yang pada zaman dahulu, menggunakan konsep produksi sesuai kebutuhan atau tidak untuk mencari keuntungan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dan ditemukan berbagai inovasi dan penemuan-penemuan signifikan seperti listrik dan mesin uap, infrastruktur, teknologi, dan fasilitas semakin mendukung untuk memfasilitasi bisnis pada skala yang besar. Akan tetapi, di balik ekspansi bisnis pada skala yang sangat besar, muncullah sesuatu yang sangatlah manusiawi, yaitu "greed" atau kerakusan". Dalam kata lain, bisnis dengan skala besar akhirnya terkonsumsi oleh kerakusan dan akhirnya hanya memprioritaskan satu hal, yaitu keuntungan.

Hal yang sama bisa diamati dari perkembangan revolusi industri. Revolusi kultural dan revolusi sosial memicu terjadinya revolusi industri dengan dihasilkannya produksi barang dalam jumlah besar. Inilah cikal bakal kapitalisme modern yang kemudian akan memicu gerakan ekspansi kolonialisme dan imperialisme yang melahirkan penindasan, eksploitasi manusia dan sumber daya alam yang melahirkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara terjajah. Hal yang paling memprihatinkan dari ini semua adalah bahwa kemakmuran di dunia kapitalis ternyata membuat penderitaan, kemiskinan dan ketergantungan di negara-negara dunia III. Keuntungan yang diraup oleh negara-negara kapitalis adalah buah dari penindasan dan eksploitasi para pekerja. Dalam kata lain, dibalik keuntungan besar yang diraih penguasa para pekerja pun harus merasakan penindasan dan diskriminasi.

Penindasan tidak hanya terjadi pada era kolonialisme dan imperialisme yang mengeksploitasi manusia, tetapi juga terjadi dalam zaman sekarang. Mungkin hal itu awalnya terdengar mustahil, terutama setelah mengingat bahwa sudah banyak sekali undang-undang yang mengatur mengenai HAM atau hak asasi manusia, terutama dalam ranah hak buruh. Akan tetapi, pada kenyataannya peraturan-peraturan mengenai hak-hak buruh yang mengatur mengenai upah dan imbalan yang seharusnya mereka terima tidak selalu dijalankan dengan sesuai. Salah satu bentuk penindasan yang masih sering terjadi dan baru-baru saja menjadi topik yang panas adalah mengenai mita ojek online yang dieksploitasi. Yang dimaksud dengan eksploitasi bukanlah seperti pada masa kolonialisme, tetapi melalui imbalan dan penghasilan yang tidak layak dibandingkan dengan usaha yang telah dikeluarkan.

Imbalan atau penghasilan tidak sesuai yang dimaksud adalah terkait dengan potongan oleh aplikasi ojek online yang terlalu besar. Menurut survei Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan (Kemenhub), pada tahun 2019 sebanyak 34,5% pengemudi ojek online hanya memiliki pendapatan di kisaran Rp1 juta--Rp2 juta per bulan. Selain itu, juga penting untuk diketahui bahwa sebanyak 50,1% responden pengemudi ojek online hanya mendapatkan penghasilan Rp50 ribu--Rp100 ribu per hari. Sedangkan 44,1% responden mengeluarkan biaya operasional harian sebesar Rp50 ribu--Rp100 ribu.

Data yang dipersembahkan oleh survei Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada tahun 2019 tentunya sangatlah memprihatinkan. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya, upah yang pada pengemudi ojek online terima ini sangatlah sedikit dan tidak sesuai dengan usaha yang mereka keluarkan. Sebelum lanjut, Perlu diketahui bahwa aplikasi ojek online memberlakukan sistem potongan kepada "mitra" atau pengemudinya. Misalnya, ketika membuat pesanan dari Stasiun Gondangdia menuju Stasiun Manggarai, harga pemesanan yang muncul dalam layar pengguna adalah Rp.50.000,00. Akan tetapi, sebenarnya yang diterima oleh pengemudi ojek online tidak mencapai Rp50.000,00 dan bahkan lebih sedikit dari pada itu.

Permasalahan terkait dengan potongan jasa kepada mitra aplikasi-aplikasi ojek online sudah menjadi masalah sejak lama dan bahkan juga menuai kritikan dan tanggapan dari Ketua Umum Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia. Menurut Igun Wicaksono, "Bagi kami sudah tidak sesuai, tidak layak lagi untuk kami bisa mencari nafkah di di ojek online seperti saat ini." Ditambah lagi dengan inflasi dan pandemi yang terjadi beberapa tahun lalu, bisa dibayangkan betapa sulitnya kehidupan pada pengemudi atau mitra ojek online.

Foto: Pengemudi ojek online melakukan bakar ban saat aksi unjuk rasa, Kamis (29/8/2024). Sumber: CNBC
Foto: Pengemudi ojek online melakukan bakar ban saat aksi unjuk rasa, Kamis (29/8/2024). Sumber: CNBC

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun