Mohon tunggu...
Gregory WilliamSutjipto
Gregory WilliamSutjipto Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SMA Santa Ursula BSD

Pegiat film yang tertarik pada produksi film dalam negri.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Cinta Satu Malam, Kebetulan atau Takdir?

25 Maret 2024   16:45 Diperbarui: 25 Maret 2024   16:50 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Secara struktural, film ini memiliki konsep dan ide cerita yang menarik, apalagi ditambah dengan tidak adanya ikatan dari kedua pemeran utama. Berbeda dengan film-film bertema satu hari lainnya yang tokoh-tokohnya sudah memiliki keterkaitan baik secara fisik maupun secara emosional. Namun, terdapat beberapa kekurangan dalam dialog yang dituturkan masing-masing tokoh. Dialog dituturkan dengan tempo yang lama dan terbata-bata, menyebabkan kesan kurang profesional dan kurang alami ketika dilihat oleh kaum awam. Dalam beberapa adegan yang memerlukan suasana emosional, film ini tidak menyajikan pembangunan emosional yang terjadi pada tokoh-tokohnya dengan cukup baik. Contohnya pada saat tante dari Ara baru saja tiba di tempat peristirahatan terakhir tantenya, tidak terdapat suasana duka yang mendalam yang ditunjukan dengan tidak adanya isak tangis.

Dalam ilmu komunikasi, dikenal sebuah teori yang bernama penetrasi sosial. Teori yang juga dikenal dengan sebutan irisan bawang ini dikembangkan oleh tokoh yang bernama Irwin Altman dan Dalmas Taylor. Teori tersebut menggambarkan proses bonding antar tokoh yang dimulai dari pembicaraan hal umum menuju ke hal yang lebih intim layaknya bawang yang sedang diiris (Kustiwan, 2022). Namun teori itu tidak didapatkan dari film ini, terlihat pada adegan saat Ara dan Lea pertama kali bertemu. Di sana, tiba-tiba saja Lea bersikap filosofis terhadap bandara kepada orang yang baru dijumpainya beberapa menit lalu. Selain itu, ketidakpaduan juga terlihat pada adegan saat Ara dan Lea tiba-tiba bercerita tentang masa lalunya tanpa topik pembuka apapun. Ditambah lagi Ara dan Lea yang tiba-tiba melakukan hubungan badan padahal tidak ditunjukkan adanya intensi suka antara satu sama lain.

Dengan memasukkan adegan-adegan dewasa ke dalam film, bukan tidak mungkin para penonton, apalagi yang belum dewasa, terpancing untuk ikut terjerumus ke dalamnya. Hal ini selaras dengan pernyataan AG (29), pelaku seksual di Yogyakarta yang mengaku penasaran dengan aktivitas seksual dan terinspirasi dari film maupun novel (Kompas, 2022). Dari hal ini, dapat dilihat bahwasannya, novel dan film menjadi media terbaik untuk menyampaikan isu-isu tertentu. Oleh sebab itu, para sineas dan filmmaker hendaknya bersikap lebih hati-hati dalam membingkai budaya-budaya tertentu ke dalam karya film.

Pemeran di dalam film ini perlu mengasah dan mengembangkan skill aktingnya dalam berbagai kondisi. Gestur dan ekspresi menjadi unsur penting dalam sebuah pertunjukan untuk menyampaikan perasaan tokoh kepada penonton. Di sepanjang film, penonton hanya disajikan gestur canggung antara Ara dan Lea. Bahkan, beberapa kali tokoh Ara menunjukkan ekspresi datar, berbeda dengan Lea, yang diperankan oleh Putri Marino, yang mampu mengeksplorasi berbagai jenis ekspresi dan gestur untuk menggambarkan perasaannya.

Dilihat dari sisi videografi, film ini memiliki kekurangan dari sisi kestabilan dan juga warna. Video yang ditayangkan dalam film memiliki kestabilan yang kurang baik. Hal tersebut dapat menyebabkan kesusahan bagi para penonton dalam menangkap adegan dengan jelas yang menyebabkan ketidaknyamanan. Selain itu, nuansa warna yang ditimbulkan juga kurang sesuai dengan suasana film. Terdapat beberapa bagian film yang menunjukkan suasana senang, namun memiliki pengaturan warna dengan saturasi yang rendah, sehingga menyebabkan efek sedih pada film. Hal ini diungkapkan pada teori psikologis warna, bahwa warna terang dapat menimbulkan suasana senang bagi orang yang melihatnya (Gramedia 2022). Contohnya saat Ara dan Lea sedang bersenang-senang di bar, kondisi saturasi yang ditampilkan masih cukup rendah. 

Namun, dengan berbagai kekurangannya, film One Night Stand menghadirkan satu lagi keunikan di dalamnya. Keunikan ini berupa spotlight terhadap upacara keagamaan Katolik, berbeda dengan film-film lain yang kebanyakan mengangkat tema agama Islam. Di dalam film ini, dapat dilihat dengan jelas bahwa upacara pemakaman dan upacara pernikahan dalam agama Katolik ditampilkan secara detail. Hal ini mampu menjadi contoh baik untuk menonjolkan diversity yang dimiliki Indonesia. Juga, memberikan pandangan baru kepada masyarakat umum tentang upacara keagamaan Katolik.

Film One Night Stand ini cocok untuk disaksikan oleh orang dewasa dengan kategori usia lebih dari 17 tahun. Masyarakat diimbau untuk mengawasi anak-anaknya agar tidak menonton film ini dikarenakan adanya warning berupa adegan seksual. Secara umum, konflik yang dihadirkan terbilang sangat ringan sehingga dapat dijadikan selingan saat waktu luang. Pengarang memasukkan unsur tema yang sesuai dengan minat masyarakat, yaitu tema cinta.

Sumber:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun