Sudah hampir 100 tahun Kolese Kanisius berdiri kokoh. Ribuan alumni hebat yang terbentuk dari tempat yang saya sebut rumah kedua. Sekarang sudah hampir 3 tahun dilalui, dan hari kelulusan terlihat begitu singkat. Namun, bagaimana diriku dapat sampai di titik ini? Apa ceritaku hingga sampai di salah satu SMA favorit di Indonesia? Semuanya berawal dari perkataan seorang teman saat diri saya masih kelas 8 SMP.
Jika seseorang mengatakan kepada saya bahwa saya akan masuk SMA Kolese Kanisius, saya akan tertawa terbahak-bahak. Saat masih SMP, saya merupakan seseorang yang sangat fokus kepada akademik atau nilai. Pada saat itu, saya merasa bahwa sekolah merupakan hal terpenting di dunia. Hal tersebut memang tidak salah bagi seorang anak SMP yang masih naif dan belum 'ditampar' realita, tapi diriku selalu ingin lebih. Aku mulai menanyakan makna sekolah sebenarnya. Apa yang terjadi ketika semua ini berakhir? Apakah diriku akan dinilai dari sebuah tinta hitam diatas kertas? Apakah ijazah akan menjadi takdir hidupku? Pemikiran tersebut menjadi awal mula pola berpikir kritis dalam hidupku. Sampai pada akhirnya, saya sadar bahwa nilai bukan segalanya.
Saya dilahirkan di keluarga yang menekankan lingkungan pertemanan, ibu saya selalu berkata, "Kalau temenan harus sama orang hebat ya agar jadi orang hebat", dari situ saya merefleksikan lingkungan saya dan sadar bahwa saya dapat menempuh potensi yang lebih jauh lagi. Saya memaksakan diri untuk keluar dari zona nyaman saya dan memutuskan untuk SMA di Jakarta. Pada awalnya, diriku yang masih sangat fokus terhadap akademik membuat keputusan untuk bersekolah di SMAK 1 PENABUR Jakarta. Tekat saya pada waktu itu sudah bulat dan hampir tidak bisa terkuncang, pada saat yang sama, saya menjadi sangat tertarik dalam dunia bisnis dan keuangan.Â
Salah satu teman saya yang bersekolah di dekat Kanisius menanyakan kepada saya, "Sebenarnya lu tuh mau jadi apa sih pas udah gede?", saya pun terdiam sebelum menjawab, "Buka bisnis sendiri kayaknya seru deh". Teman saya pun bertanya kenapa saya tidak masuk Kanisius saja, awalnya saya tertawa dan membiarkan konsep tersebut pergi begitu saja. Saya melakukan riset terhadap Kanisius dan menemukan daftar orang-orang hebat yang menghidupi mimpi saya seperti Ade Rai, Bambang Hartono, Sofjan Wanandi, dan masih banyak lagi. Dari situ saya mengubah niat saya dan fokus untuk masuk SMA Kolese Kanisius.Â
2 bulan pertama saya di Kolese Kanisius dipenuhi dengan kekhawatiran. Rasa takut tidak mendapatkan teman memenuhi hati seorang pemuda. Rasa tidak nyaman pun seringkali terlewat dan rasanya ingin kembali ke masa-masa SMP. Waktu itu, diriku masih polos dan tidak tahu apa-apa, yang saya pedulikan adalah nilai akademik saja. Sampai pada akhirnya, saya mulai memberanikan diri untuk berkenalan dan mulai mendapatkan teman-teman. Kelas 10 dipenuhi canda tawa dan kebahagiaan seorang pemuda. Saya selalu ingat bagaimana kami Canisian selalu mengubah situasi buruk menjadi canda tawa yang begitu indah.
Menurut saya, siapapun yang masuk Kanisius akan mendapatkan lingkungan yang mereka inginkan, dari dulu sampai sekarang, Kanisius bagaikan 'Indonesia kecil' yang memiliki berbagai keberagaman adat, suku, ras, dan agama. Jika seseorang menanyakan alumni Kanisius dari tahun 1960 sampai 2024 apa 1 kata yang bisa mendeskripsikan Kolese Kanisius, kata tersebut adalah brotherhood. Rasa kebersaudaraan terasa begitu kuat di Kolese Kanisius. Di situ, saya merasa dapat menjadi diri saya sendiri dan mencoba hal-hal baru tanpa takut dihakimi. Masa kelas 10 saya dipenuhi keikutsertaan panitia dan mengikuti banyak sekali organisasi. Di saat yang sama, saya menemukan teman dekat saya yang bahkan menemani saya sampai pada di titik ini.
Satu hal penting yang saya dapatkan dari Kolese Kanisius adalah bahwa Kanisius selalu memberikan fasilitas bagi siswanya untuk berkarya. Mulai dari seni, akademik, atau bahkan berbahasa, semuanya lengkap dan dapat digunakan begitu saya. Sungguh menarik bagaimana rasanya segala hal yang saya diimpikan di saat saya SMP, rasanya mulai terwujud secara perlahan. Mungkin karena hal itu juga, banyak sekali alumni Kolese Kanisius yang kemudian membantu membangun negeri dengan perusahaan dan bisnis mereka.
Sudah hampir 3 tahun berlalu dan rasanya waktu pergi begitu saja, dari seorang siswa gugup yang tidak tahu apa-apa, menjadi seorang Canisian. Sungguh perjalanan luar biasa yang dipenuhi hal-hal baru. Jika saya melihat teman-teman saya, siapapun itu, mereka menjadi seseorang yang lebih baik daripada diri mereka saat mereka kelas 10. Salah satu faktor terbesar adalah kami selalu diminta untuk berpikir kritis terhadap segala sesuatu. Saya masih ingat bagaimana tugas pertama saya adalah untuk mencari pelanggaran HAM di sejarah Indonesia. Kami juga selalu diminta untuk merefleksikan segala sesuatu yang terjadi pada diri kita, walaupun seringkali kami ketiduran saat refleksi.
Pandangan saya terhadap Kanisius sampai 50 tahun ke depan akan sama yaitu, "Sekumpulan pemberontak yang diikat oleh tali persaudaraan.", dan setelah kami lulus pun, apa yang kami bentuk tidak akan putus selamanya. Di tahun-tahun yang mendatang, Kolese Kanisius akan banyak berubah dari sistem mengajar, gedung, dan siswanya. Tetapi, satu hal yang pasti adalah Kolese Kanisius akan menjadi tempat bagi siapapun, dan sekali masuk ke dalam Kanisius, akan selalu menjadi Canisian. Di tengah sulitnya tugas dan ulangan yang ada dan kepanitiaan yang sangat banyak. Kolese Kanisius akan slalu menjadi tempat untuk memperbaiki diri dan menjadi manusia yang lebih baik. Dulu, sekarang, dan yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H