68 tahun sudah Indonesia merdeka, tapi baru sekarang kami bisa menikmati “jalan dan listrik”
“68 tahun sudah Indonesia merdeka, tapi baru sekarang kami bisa menikmati jalan dan listrik”, itulah yang dikatakan oleh Bapak Obeth Tuwilay, Kepala Badan Permusyawaratan Desa Tounwawan, Kecamatan Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku.
Sekitar bulan Juni-Juli 2013 kemarin sekitar 140 Mahasiswa UI melakukan K2N di 3 daerah ujung Pulau Indonesia, dua diantaranya adalah daerah perbatasan, yaitu Kalimantan Barat dan Kab. Maluku Barat Daya. Saya sendiri ditempatkan di Pulau Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya, tepatnya di Desa Tounwawan, Kecamatan Moa.
Perlu diketahui bahwa Maluku Barat Daya adalah Kabupaten termuda di Provinsi Maluku yang berbatasan langsung dengan Timor leste dan Australia. Kabupaten ini berdiri sejak tahun 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Maluku Barat Daya di Provinsi Maluku. Sebagai Kabupaten baru yang sempat mengalami polemik mengenai pemilihan Ibukota Kabupaten, akhirnya pada bulan November tahun lalu, sesuai dengan amanat UU Nmor 31 tahun 2008 Pemerintah Kabupaten memindahkan ibukotanya dari Pulau Kisar yang selama ini menjadi Ibukota de facto (interim) Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) sejak tanggal 16 September 2008 hingga tahun 2012, menjadi ke Tiakur Pulau Moa, sebuah Pulau kecil yang pada saat itu masih didominasi oleh hutan belantara dan ditinggali oleh sedikit penduduk di beberapa desa.
Perjuangan selama 8 bulan membangun Pulau Moa mulai dari nol, tentu belumlah cukup untuk membuat Tiakur, Pulau Moa layak menjadi sebuah ibukota Kabupaten. Terbukti, sesampainya kami disana dengan menggunakan KRI. Dr Soeharso, belum ada Pelabuhan bagi kapal-kapal besar untuk bersandar. Asal tahu saja, tidaklah mudah untuk bisa mencapai Kabupaten Maluku Barat Daya yang wilayahnya masih cukup terisolir. Untuk bisa ke sana, setelah seharian kami menaiki Pesawat Hercules dari Bandara Halim Perdana Kusuma menuju Bandara El Tari Kupang, kami harus menempuh perjalanan laut selama 3 hari 2 malam menaiki KRI Dr. Soeharso milik TNI AL untuk bisa mencapai perairan dalam Pulau Letty, Kabupaten Maluku Barat Daya kemudian melanjutkannya dengan menaiki kapal kecil menuju ke Pulau Moa.
Mengapa harus menggunakan Kapal Perang? Karena masih sangat jarang kapal Pelni yang melintasi daerah Kabupaten Maluku Barat Daya, hanya satu atau dua kali dalam 6 bulan kalau cuaca laut sedang besahabat dan itupun tidak melintasi Pulau Moa. Tapi jika cuaca tidak bersahabat, kecuali Kapal Perang TNI AL jangan harap bisa menjangkau Maluku Barat Daya baik dari Ambon ataupun Kupang karena tidak akan ada kapal perintis yang berani melintas, dengan seringnya kapal-kapal yang karam dan tenggelam di Laut Banda. Hanya ada kapal barang ukuran sedang yang mampu bersandar di dermaga kecil Kaiwatu, salah satu pesisir utara Pulau Moa. Selain karena belum adanya pelabuhan untuk kapal besar, cuaca di laut yang sedang badai, wilayah perairan yang dangkal penuh karang juga membuat kapal-kapal besar tidak bisa bersandar di Pulau Moa, tak ayal kami yang sempat menaiki kapal motor kecil milik TNI AL harus berputar-putar dahulu mencari perairan dalam dan sesekali harus tersangkut dan menabrak karang laut di Pantai Tiakur.
Apakah bisa diakses melalui jalur udara? Memang ada lapangan terbang John Bakker di Pulau Kisar, namun itupun hanya bisa untuk pesawat perintis yang memuat 18 penumpang baik dari Kupang maupun Ambon yang rute penerbangannya diadakan dua minggu sekali, dan itupun lagi-lagi tergantung oleh cuaca. Setelah sampai di Pulau Kisar, barulah perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan kapal motor ke Pulao Moa selama setengah hari. Lalu untuk jalur darat, jangan ditanya! Karena jelas tidak mungkin karena Kabupaten Maluku Barat Daya merupakan kepulauan yang masing-masing pulaunya dihubungkan dengan laut.
Sesampainya kami di Ibukota Kabupaten yang baru, yang kami lihat setelah mendarat di Pantai Tiakur adalah daratan yang didominasi hutan dan semak belukar dengan diselingi rumah-rumah non permanen yang ada di sekitar jalan tanah yang baru saja dihuruk. Dan setelah masuk agak dalam ke Tiakur, barulah kami melihat sang Ibukota baru yang sedang berbenah diri dengan mulai dibangunnya jalan-jalan aspal yang kira-kira luas kilometernya tidak lebih dari luas kilometer jalan aspal yang ada di dalam Kampus UI Depok. Di sanapun hanya ada beberapa pembangunan yang telah selesai seperti Kantor Bupati, beberapa Rumah Dinas pejabat, serta bangunan semi permanen Rumah Sakit Bergerak.
Sejak memindahkan ibukotanya ke Tiakur 8 bulan yang lalu, telah terjadi perpindahan besar-besaran para Pegawai Negeri Sipil ke Pulau Moa. Tau dimana para PNS harus tinggal di Tiakur? Yak, di sebuah barak yang sangat panjang yang terbuat dari kayu teriplek, dan tidak lebih baik dari barak-barak pengungsian. Sama seperti wilayah-wilayah perbatasan lainnya di Indonesia, di Tiakur, Pulau Moa dengan wilayahnya yang cukup terisolir, membuat semua harga kebutuhan menjadi sangat langka dan mahal. Contohnya saja harga BBM, para penduduk Pulau Moa yang tidak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai Sementara (BLTS) sebagai kompensasi kenaikan harga BBM harus membeli BBM dengan harga 25 ribu per liter.
Bagaimana dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di sana? Yak, Kabupaten Maluku Barat Daya merupakan Kabupaten termuda sekaligus termiskin di Maluku, dengan pendapatan perkapita penduduknya hanya 120 ribu/ bulan (data presentasi Kepala dinas pertanian Kabupaten Maluku Barat Daya). Hal itu seakan berbanding terbalik dengan potensi yang di miliki oleh Kabupaten. Di mulai dari kekayaan laut yang melimpah, Ternak unggulan di Indonesia, serta Pertambangan gas dan emas yang tidak habis-habisnya dieksploitasi. Kabupaten ini memiliki tambang gas abadi di Blok Marsela yang berdasarkan penelitian menyimpan kandungan gas di dalam perut bumi yang sangat besar di Maluku Barat Daya, dan bahkan telah banyak perusahaan asing yang telah menginvestasikan ratusan trilyun untuk dapat mengolah tambang gas abadi tersebut. Salah satu perusahaan pertambangan dari Jepang misalnya, yang telah menginvestasikan dana sebesar ratusan trilyun rupiah untuk dapat mengolah gas abadi di Blok Marsela selama 30 tahun.