Indonesia saat ini tengah menyambut hangat film animasi "Jumbo". Film yang digarap selama lima tahun dengan arahan sutradara Ryan Adriandhy dan kolaborasi Visinema Studios dengan Springboard, Anami Films, serta Unikom ini diketahui menggandeng hingga kurang lebih 400 pekerja kreatif yang termasuk di dalamnya musisi, visual artist, animator, penulis naskah, maupun technical engineer [1].
Film tersebut diketahui meraup rekor hingga tembus dua juta penonton pada hari kesebelas pemutarannya.
Ryan Adriandhy sendiri mengakui bahwa penyusunan film ini seperti menyusun “kue lapis” dengan bertahap, penuh kesabaran, dan memerlukan perhatian terhadap setiap detail.
Dalam pembuatannya, ia mengakui bahwa produksi animasi jauh lebih rumit dibanding film live action karena membutuhkan gambar demi gambar untuk menghasilkan gerakan halus [2].
Proses ini melibatkan berbagai tahap mulai dari pembuatan sketsa, desain dunia, hingga pewarnaan dan pengisian suara. Apabila eksekusi satu tahap saja tidak berjalan mulus, film ini tentunya akan memiliki kecacatan di sana-sini. [3]

Berdasarkan apa yang dialami film Jumbo, kondisi ini menyiratkan bahwa sebuah proyek animasi kolaboratif dapat sering kali melibatkan alih daya maupun produksi bersama dari sebagian karya ke studio lain, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam sebuah proyek level internasional terkadang terjadi kolaborasi studio lintas negara atau benua.
Meskipun pendekatan ini mampu meningkatkan skalabilitas produksi film animasi dan memanfaatkan berbagai kumpulan bakat yang tersebar secara global, pendekatan kolaboratif ini juga menimbulkan kompleksitas dalam koordinasi.
Adanya sistem rantai pasokan (supply chain), dalam hal ini, menjadi sistem penting yang harus dikelola secara aktif untuk memastikan penyerahan aset yang lancar, kualitas yang konsisten, dan pengiriman produk secara tepat waktu.
Dalam konteks bisnis tradisional, istilah "rantai pasokan" (supply chain) biasanya memunculkan gambaran tentang barang fisik—bahan mentah, komoditas, gudang, armada logistik, dan pengiriman hingga tahap eceran. Namun, di era digital, konsep supply chain telah berkembang. Bahkan di sektor yang murni kreatif seperti animasi, di mana produknya tidak berwujud dan "bahan mentahnya" adalah bakat dan data, sistem rantai pasokan tetap ada—meskipun sistem ini beroperasi dalam bentuk virtual yang lebih abstrak.