Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Konsultan - Brand Agency Owner

Seorang pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Artikel Utama

Mengapa Desainer atau Artisan yang Membuka Studio Perlu Paham Bisnis?

26 Maret 2024   06:00 Diperbarui: 26 Maret 2024   07:55 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kegiatan riset perilaku pasar. (Sumber: thekeepitsimple.com)

Beberapa waktu lalu saya mendengarkan podcast dari The Lazy Monday yang mengundang Kris Antoni, founder Toge Productions sebagai publisher game yang merilis game ternama "A Space for The Unbound". 

Dalam podcast tersebut, Kris mengatakan bahwa terdapat studi kasus di mana banyak para studio owner bahkan yang senior seringkali dalam sebuah pembuatan karya lebih fokus pada eksekusi hard skill dalam membuat nilai artistik atau emosional sebuah game, di mana mereka suka lebih memilih untuk riset produk mengambil visual sebuah game yang mereka buat dari game A, storyline dari game B, dst ketimbang meriset pasar sebelum produk itu dibuat, sehingga ketika ditanya oleh calon investor atau klien tentang alasan bisnis mengapa game itu harus ada dan potensi pasar dari game tersebut maka pertanyaan-pertanyaan tersebut akan susah dijawab. 

Ilustrasi tentang studio kreatif. (Sumber: zale.hr)
Ilustrasi tentang studio kreatif. (Sumber: zale.hr)

Hal tersebut membuat Soni dan Rivaldo selaku host dan co-host terperanjat dan akhirnya berkesimpulan bahwa studio-studio dalam industri kreatif pada subsektor game menjadi seakan sekumpulan tukang yang pada akhirnya menyerahkan pada publisher untuk mohon dijualkan produknya. 

Kris kemudian mengiyakan bahwa bagaimanapun ketika sedari awal kita membuat suatu produk, kita perlu memikirkan juga siapa yang hendak membeli, value proposition, demand market seperti apa, hingga pada akhirnya the product sell itself karena semua produk di dunia seperti itu. 

Fenomena tersebut akhirnya membawa lebih jauh tentang bagaimana para pemilik studio yang notabene artisan atau desainer memerlukan mindset marketing dalam setiap produksinya.

Banyak desainer berbakat bermimpi untuk membuka studio sendiri. Kebebasan untuk membuat dan memimpin banyak proyek memang merupakan sebuah prospek yang menarik. 

Meskipun begitu, adanya transisi dari pengrajin atau artisan terampil menjadi pemilik studio sukses memerlukan perubahan pola pikir yang penting. Meskipun visi artistik sangat penting, seorang desainer yang membangun studio perlu mengembangkan perspektif bisnis yang kuat untuk menavigasi pasar dan memastikan kelangsungan jangka panjang dari usaha yang dibentuknya.

Ilustrasi tentang kegiatan studio kreatif. (Sumber: gbu-hamovniki.ru)
Ilustrasi tentang kegiatan studio kreatif. (Sumber: gbu-hamovniki.ru)

Pola pikir artisan pada umumnya berfokus terutama pada kerajinan (craftmanship) itu sendiri. Sementara itu, seorang desainer lebih banyak didorong oleh hasrat untuk berkreasi, memprioritaskan ekspresi artistik dalam sebuah proyek yang dipegangnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun