Salah satu topik pembicaraan favorit kita pada umumnya adalah gosip tentang pencapaian seseorang. Ada yang begitu memuji tentang betapa hebatnya bisa nikah cepat di usia 20an, ada yang menganggap keren orang yang bisa menjadi milyader saat masih remaja dengan usahanya sendiri, ada yang bangga karena bisa bekerja mendapat gaji tinggi tanpa harus menunggu puluhan tahun, dan sebagainya. Pandangan-pandangan ini begitu merasuk hingga tanpa sadar dalam beberapa kasus membuat "racun" yang terkadang bisa diterapkan ke orang lain, entah dari orang tua ke anak, atasan ke bawahan, antar tetangga, atau yang lainnya. Efeknya bisa jadi membuat minder, komunikasi yang berakhir buruk, ketidakjujuran karena malu atas keadaan, hingga kecemburuan sosial.
Adanya pembicaraan tentang pencapaian-pencapaian serba cepat tersebut akhirnya di mata masyarakat seringkali memunculkan sebuah konsep yang berhubungan dengan itu, yakni "terlambat sukses". Â Kerapkali secara tidak adil konsep ini keluar entah dari orang lain atau mulut kita sendiri. "Masa kita kalah sama anak kecil, si A yang bisa sukses bla bla bla", "Masa sampai umur segini belum nemu jodoh yang entah dimana", "Masa ga bisa nambah cuan lagi biar bisa healing ke luar negeri?" Demikian kurang lebihnya uneg-uneg yang sering beredar. Terlihat seakan-akan kesuksesan yang dipandang di mata dunia mestinya bisa diraih dalam waktu cepat ternyata begitu dijalani tidak semudah membalik telapak tangan.
 Dunia ini penuh persaingan, itu betul, namun justru inilah yang membuat kita perlu lebih banyak berproses sambil menikmatinya dengan berlapang dada. Mungkin ada di luar sana orang lain yang bisa secara beruntun mendapat keberuntungan lebih, mungkin juga banyak orang yang hampir seluruh hidupnya diliputi kemalangan terus. Mungkin kita berjumpa dengan seseorang yang tak lama kemudian dia langsung sukses, sementara kita masih biasa saja. Hiasan-hiasan kehidupan yang ada tersebut pada akhirnya semestinya membuat kita menyadari bahwa jalan hidup setiap orang berbeda. Ada yang memang bisa langsung ke puncak yang ia daki dengan segala konsekuensinya, ada yang harus memutar dahulu tetapi dengan sebuah tujuan yang lebih baik. Dengan adanya berbagai keragaman tersebut pada akhirnya konsep "waktu berproses" yang tiap orang miliki menjadi sebuah relativitas tersendiri sekalipun dalam realita semua orang merasakan 24 jam yang sama.
Dalam kondisi adanya relativitas waktu tersebut, pada akhirnya tidak ada lagi konsep "terlambat" untuk sukses. Setiap orang perlu melihat bahwa momen "jalan memutar", "terpeleset", "jatuh ke bawah" tidak lagi dapat dipandang sekadar sebagai kondisi inefisiensi waktu, momen dimana mereka "kalah dengan orang lain", melainkan hanya sebuah hiasan tersendiri yang mewarnai perjalanan hidup kita yang menanti untuk digali keindahannya. Berhenti memandang bahwa hidup ini sebuah perlombaan, dan mulailah untuk menikmatinya sebagai sebuah cerita dengan keunikan personalnya yang memang hanya untuk kita secara eksklusif. Sebuah pemberian Tuhan dan semesta yang tidak akan ada gantinya, yang justru perlu kita tanggapi dengan rasa syukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H