Kehadiran banyaknya influencer di masa sekarang membuat akhirnya informasi yang kita terima di dunia maya amat beragam. Masing-masing influencer memiliki caranya masing-masing untuk berkomunikasi, dan tak jarang pula banyak di antara mereka yang melancarkan strategi hingga sampai pamer harta atau kegiatan-kegiatan mewah yang tak mungkin orang awam kalangan menengah tak mungkin rasakan.Â
Ada banyak sekali konten yang belakangan kita ketahui ternyata dibuat-buat hanya demi menarik perhatian. Namun terkadang banyak pula konten yang apa adanya dan mengalir. Banyak orang berlomba-lomba untuk menampilkan diri mereka sebaik mungkin.Â
Hal ini melahirkan antusiasme kuat pada konsep ilmu personal branding, sebuah konsep yang membahas proses membangun dan mengelola citra atau reputasi diri.
Di era digital saat ini, tak dapat dipungkiri bahwa hasrat menampilkan diri tersebut seolah menjadi hal yang paling utama. Andaikata di dalam posisi para influencer aktif tersebut, kemungkinan besar kitapun akan dengan giatnya mencoba membuat konten dari apapun kegiatan kita, kita mungkin bisa menyusun bagaimana tampilan diri kita personal untuk ditampakkan secara online, memperlihatkan pencapaian kita, dan berusaha untuk menonjol dari yang lain.Â
Meskipun begitu, di manakah batas antara personal branding yang asli dan sikap flexing yang terus menerus terlihat memanjakan diri sendiri itu? Apakah mereka seperti dua sisi mata uang yang sama, ataukah mereka memang sesuatu yang secara fundamental berbeda?
Secara mendasar, meskipun keduanya melibatkan berbagai aspek kehidupan kita secara online, personal branding dan flexing merupakan dua hal yang berbeda.Â
Perbedaan keduanya cukup mencolok dalam tujuan dan metode inti ketika menampilkan diri. Baik dari intensi, keotentikan, fokus konten, hingga dampak yang ditampilkan masing-masing apabila dicerna akan terlihat bedanya sehingga kita bisa mewaspadainya.
1. Adanya Perbedaan Niat dan Tujuan