"Jika seorang pemimpin militer tidak pernah sesekali mencicipi kekalahan, bagaimana ia dapat mengetahui caranya berperang terhadap dalam sebuah pertempuran yang penuh kemenangan? Di dunia ini tidak pernah ada pemimpin yang selalu menang, yang ada hanyalah para pemimpin yang tidak menyerah setelah adanya kekalahan, yang bertumbuh lebih kuat dari pengalaman dan yang pada akhirnya muncul sebagai pemenang.
Kegagalan adalah hal yang baik.
Kegagalan mengajarkan kita bagaimana untuk sukses.
Kegagalan mengajarkan kita bagaimana meraih kemenangan.
Kegagalan mengajarkan kita bagaimana menaklukkan dunia.
Jika seseorang ingin sukses, ia harus tahu kapan harus bertahan dan kapan harus melepaskan.
Sama dengan sebuah peperangan
Seseorang harus bisa menang dan juga harus bisa kalah"Cao Cao, Ungkapan setelah Kekalahan pada Pertempuran Tebing Merah (Chi Bi)
Three Kingdoms (2010) Drama TV Series
Meskipun kutipan tokoh Cao Cao di atas adalah sebuah kreasi tambahan fiksional dalam sebuah drama televisi, kutipan di atas sangat menjadi sebuah motivasi yang sangat realistis bagi saya pribadi. Saya mampu membayangkan betapa beratnya tugas seorang pemimpin perang seperti Cao Cao yang bertahun-tahun membangun reputasi dan pasukan namun dalam sekejap musnah oleh siasat dari aliansi Sun Quan dan Liu Bei. Bahkan setelah kekahalan itu, ia masih harus membangun kembali moral pasukannya yang tersisa dan kehilangan semangat dengan memberi mereka motivasi untuk menerima serta belajar dari kekalahan itu.
kehidupan dan berusaha keras mencapai titik kesuksesan di bawah kolong langit ini. Betapa sangat mengerikannya hidup ini ketika sebuah usaha yang telah kita bangun, menguras  begitu banyak tenaga, membuang begitu banyak waktu kita pada akhirnya kita temukan menemui kegagalannya yang seringkali berlangsung sekejap dan juga drastis. Dapat lebih mematikan lagi ketika secara beruntun itu menimbulkan konsekuensi lain seperti adanya tuntutan finansial yang harus kita selesaikan, kepercayaan orang lain yang kita rusak, hingga kondisi fisik serta mental yang menurun. Pada titik itu, ada beragam bentuk respons dari diri kita mulai dari berburu-buru mencari tindakan selanjutnya, secara impulsif mencari pelampiasan, hingga mencari motivasi yang dapat membangkitan semangat kita. Meskipun begitu, untuk membangkitkan diri sendiri setidaknya dalam rangka berdiri kembali memerlukan sebuah tinjauan yang perlu kita lakukan.
"Kegagalan". Sebuah kata yang cukup mengerikan bagi kita yang menjalani
1. Kita Perlu Mengobati Terlebih Dahulu Cara Pandang Kita
Bagaimana setelahnya?" Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang umum muncul ketika kita menyadari bahwa hidup kita harus terus berjalan. Pada fase ini, tentunya adalah hal yang wajar untuk berpikir tindakan apa yang harus segera kita lakukan selanjutnya. Namun sebelum itu, fase ini adalah sebuah fase kritikal yang menentukan apakah kita sungguh belajar dari kegagalan ini atau tidak. Â Memang pada akhirnya kita harus memiliki sebuah tindakan realistis atas kegagalan yang kita alami untuk melangkah pada tahap selanjutnya, tetapi mempelajari dan mengakui mengapa kegagalan itu bisa terjadi adalah sebuah hal yang tidak kalah pentingnya. Pada fase ini, kejujuran pada diri kita sendiri amatlah diperlukan. Tanpa adanya kejujuran ini, kita bisa saja melewatkan kemungkinan bahwa kegagalan itu bisa saja bukan hanya disebabkan oleh pihak lain melainkan juga diri kita sendiri.
Apakah ini berarti kita harus menyalahkan diri kita sendiri? Jawabannya tidaklah semudah "ya" atau "tidak" karena keduanya bukanlah fokus utama yang dicari di tahap ini. Intisarinya bukanlah semudah pada akhirnya kita sepakat akan "ya" lalu melakukan tindakan merendahkan diri sendiri, atau "tidak" lalu kita menyangkal seakan-akan tidak pernah ada kesalahan yang kita lakukan untuk menenangkan hati kita, namun malahan sebenarnya tindakan pembukaan kemungkinan akan faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan itu tindakan yang mencoba menetralkan yang berujung pada bagaimana semestinya kita membuka diri kita sendiri pada kemungkinan lain yang membuat cara pandang kita haruslah diubah setelahnya.
Kegagalan dalam hal ini mestilah kita terima menjadi sebuah terapi alami pengubah cara pandang kita. Ini adalah sebuah respon pemberian alam yang indah terhadap bias-bias pemikiran kita. Kita seringkali tidak sadar bahwa kita telah jatuh dalam kesombongan dimana kita merasa bahwa kita memiliki sebuah prinsip kuat, tetapi realita dengan senang hati akan menguji apakah itu sebuah prinsip teguh atau hanya delusi pribadi yang ingin memaksakan diri. Jika kita ingin berbicara akan sebuah prinsip hidup, prinsip itu haruslah sesuatu yang lolos dalam uji realitasnya, dan salah satunya adalah dengan cara mampu berjalan berdamai dengan realita itu sendiri tanpa terbudak atau memaksakannya.
2. Kesadaran bahwa Pelampiasan Bukanlah Jalan Keluar dan Pembenaran Diri
Sering kali, dalam sebuah kegagalan kita mencari sebuah pelampiasan. Mencari kambing hitam atau pelampiasan inderawi setelah mengalami kegagalan bisa menjadi sebuah reaksi yang menggoda dan langsung terjadi secara impulsif, namun pada akhirnya hal ini bukanlah strategi yang bijak. Sama seperti halnya godaan ke dalam untuk menyalahkan diri sendiri amatlah kurang bijak sana, godaan keluar untuk mencari hal yang bisa memuaskan kekesalan kita adalah tindakan yang tidak kalah destruktifnya. Keduanya sama-sama berakar pada kesombongan bahwa diri kita tidak mau menerima bahwa tatanan maupun pemikiran yang kita bentuk memiliki kelemahan dan perlu kita ubah.