Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Konsultan - Brand Agency Owner

Seorang pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Belajar Seni Kehidupan ala Tokoh-Tokoh Punakawan

5 Oktober 2023   06:30 Diperbarui: 5 Oktober 2023   06:35 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wayang Gareng gaya Surakarta. Sumber: Pinterest.com

Sebagai salah seorang anak muda yang dituturi kisah pewayangan sejak kecil, saya menemukan banyak sekali makna-makna pembelajaran hidup yang terkandung dari setiap lakon wayang. Selain adanya kreativitas berupa jalan cerita yang seringkali digubah dalam perspektif seorang dalang (sanggit), salah satu hal yang menarik perhatian dalam sebuah pertunjukan wayang adalah kehadiran  para tokoh punakawan. Tokoh-tokoh yang merupakan kreasi asli dari Indonesia ini bak idola yang dinanti momen kemunculannya saat babak yang dinamakan "goro-goro". Mereka menghibur penonton dengan gaya canda yang khas dari setiap karakter masing-masing. Mereka seringkali dianggap representasi rakyat jelata yang mendampingi kehidupan bernegara tokoh-tokoh baku baik dari Mahabarata maupun Ramayana.

Hal yang unik, setiap gaya pewayangan dari daerah tertentu memiliki ciri khas punakawannya masing-masing.  Dalam gaya Surakarta dan Yogyakarta yang cukup luas dipakai saat ini, dikenal dua golongan punakawan yaitu mereka yang mendampingi para kesatria baik yang terdiri dari Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, serta golongan punakawan yang mendampingi para tokoh-tokoh jahat dan angkara murka yang terdiri dari Togog dan Bilung. Dari masing-masing punakawan ini ada pembelajaran hidup yang menarik untuk diulas.

1. Semar : Pembelajaran Kepemimpinan yang Mengasuh

Sosok Semar dalam pewayangan Jawa dikenal sebagai dewa bernama Batara Ismaya yang turun ke bumi dan ditugasi membimbing para kesatria. Bersama anak-anaknya (Gareng, Petruk, Bagong), ia menjaga para kesatria agar tidak bertindak gegabah dalam melaksanakan tugasnya. Sosoknya dalam setiap lakon sering terasa sebagai garda terakhir ketika titisan dewa lainnya, yaitu Sri Kresna kesulitan dalam mengasuh para Pandawa. Tokoh Semar menjadi representasi pemimpin yang mengayomi dan telaten untuk mengasuh baik pihak di atasnya (para majikannya) maupun di bawahnya (anak-anaknya). Ia sendiri digambarkan dalam rupa dengan ciri khas berbadan gemuk, berkuncung, bermata sembab, dan juga selalu tersenyum.

Wayang Semar gaya Surakarta. Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id
Wayang Semar gaya Surakarta. Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Apa yang unik dari pembelajaran seorang Semar adalah bagaimana kepemimpinannya tidak didasarkan karena kuasa dewata yang dimilikinya. Meskipun ia dapat menampilkannya, dalam pewayangan, Semar lebih banyak dihadirkan untuk menyelesaikan masalah melalui ketegasan sikap sambil tetap setia telaten mengasuh mereka yang butuh bimbingannya. Hal ini seakan ingin menekankan bahwa kepemimpinan bukanlah suatu yang datang sekedar karena ada kuasa yang diberikan melainkan karena karakter yang terus ditumbuhkan di dalam dirinya. Kepemimpinan dari seorang Semar tidaklah datang saat ia berada di atas, melainkan justru ketika ia mampu mendudukkan mereka yang berada di posisi atas maupun bawah untuk lebih jernih berpikir dan bertindak bersama mewujudkan kebaikan.

2. Gareng : Sang Kakak yang Pintar Melihat Situasi dalam Keterbatasan

Gareng dikenal sebagai kakak tertua dari Petruk dan Bagong. Ketiga orang ini menurut cerita pewayangan bukanlah anak biologis dari Semar melainkan anak angkat yang diajak Semar menjadi pamong para kesatria. Asal usul Gareng sendiri terdapat banyak versi, dimana terdapat versi yang menyatakan bahwa Gareng adalah kesatria bernama Bambang Sukodadi yang remuk wajahnya setelah bertempur dengan kesatria lain Bambang Pecrukilan, ada pula versi berdasarkan Ki Purbo Asmoro yang menceritakan bahwa Gareng bersama Petruk berasal dari anak raksasa Bahusasra yang bernama asli Kucir dan Kuncung yang diangkat anak oleh Semar, dan juga ada versi lain yang juga disajikan Ki Purbo Asmoro bahwa Gareng berasal dari Tunggak Kayu Gaharu yang disabda Semar menjadi manusia.

Wayang Gareng gaya Surakarta. Sumber: Pinterest.com
Wayang Gareng gaya Surakarta. Sumber: Pinterest.com

Hal yang menjadi ciri khas dari seorang Gareng adalah bagaimana ia digambarkan dalam kondisi penuh kecacatan, dimana tangannya bengkok, kakinya yang pincang, hidung membulat, dan matanya juling. Ia sendiri dalam pewayangan porsinya sering kalah menonjol dengan peran canda tawa dari Petruk maupun Bagong yang lebih menjadi spotlight, namun meskipun begitu ia selalu ada membantu mengisi untuk lebih menghidupkan suasana. Sosok Gareng seringkali menimpali candaan dari adik-adiknya dan juga tak jarang menjadi sosok yang memperjelas suasana yang tengah dihadapi baik para kesatria maupun dari Semar dan adik-adiknya.


Dibalik keterbatasannya, dapat dikatakan Gareng memiliki insight yang mendalam. Ia mampu melihat gambaran luas ketika terjadi masalah. Ia memang tidak "gercep" seperti adik-adiknya, tetapi ia justru memposisikan diri sebagai "mata" yang menuntun dan memastikan agar sebuah sistem kepemimpinan yang diarahkan oleh Semar bersama Sri Kresna berjalan dengan baik. Ia sering mengambil resiko untuk tetap mengadukan situasi dengan jujur kepada para majikannya, meskipun seringkali ada momen dimana ia menjadi bahan "bully" baik oleh adik-adiknya maupun majikannya. Dengan memberi gambaran utuh akan situasi maupun kondisi yang terjadi, sebenarnya tanpa sadar sosok Gareng telah menjadi penolong tersembunyi yang memberi warna bagi jalan cerita.

Karakter Gareng yang mampu melampaui keterbatasannya itu dipuji oleh Hermawan Kartajaya mewakili sosok karakter seorang enterpreneur yang berani mengambil resiko, mampu melihat situasi, dan bertindak tepat dengan tetap menerapkan sisi inovatif dan kreatif. Sosok Gareng patut diakui lebih terlihat pemikir dan kalah "greget" daripada Petruk maupun Bagong, namun sosok-sosok seperti ini memiliki karisma menjadi "otak tersembunyi" yang dapat menggerakkan banyak orang.

3. Petruk : Seni Membawa Perubahan dengan Kerakyatan

Tokoh Petruk dalam pedalangan Jawa dikenal juga sebagai Kantong Bolong dimana ia digambarkan sering sekali secara humoris meminta uang dari para majikannya untuk melaksanakan tugas dan uang tersebut kemudian dibagi-bagi kepada kedua saudaranya. Bentuk karakternya hampir senada dengan saudara-saudaranya dimana ia juga memiliki kecacatan dimana hidungnya sangat panjang, tangannya juga memiliki ukuran panjang tidak normal, perutnya membusung namun kontras dengan badannya yang kurus tinggi. Menurut sumber pedalangan jawa, ia berasal dari karakter kesatria bernama Bambang Pecrukilan yang mukanya hancur setelah berkelahi dengan kesatria lain bernama Bambang Sukodadi dan kemudian keduanya mengikut Semar sebagai Gareng dan Petruk.

Wayang Petruk gaya Yogyakarta. Sumber: lookandlearn.com
Wayang Petruk gaya Yogyakarta. Sumber: lookandlearn.com

Sosok Petruk sendiri sering dianggap menjadi suara rakyat jelata. Dalam norma seni pedalangan, suara karakternya diisi dengan suara asli sang dalang. Seni pedalangan klasik banyak membuat lakon dengan Petruk sebagai tokoh utama dalam konteks dimana ia menyuarakan suara rakyat, seperti yang tercantum pada lakon Petruk dadi Ratu (Petruk menjadi Raja), Petruk dadi Dukun (Petruk menjadi Dukun) atau dalam lakon Gareng dadi Ratu (Gareng menjadi Raja) dimana ia sampai berani nagih janji untuk meminang putri dari Sri Kresna apabila berhasil mengalahkan raja yang sebenarnya adalah sosok Gareng. Lakon-lakon tersebut secara unik seakan membawa nafas baru dalam pedalangan dimana tokoh-tokoh yang sebelum tidak terpandang maupun jalan cerita baru kemudian diangkat untuk semakin memperkaya khazanah cerita pewayangan.

Petruk dengan jalan ceritanya adalah gambaran bagaimana sebuah perubahan dibawa justru dengan mengambil nilai-nilai kerakyatan. Seseorang tidak bisa membawa maupun berkoar-koar akan inovasi tanpa melihat kondisi riil di lapangan. Sebuah perubahan yang berdampak kerapkali justru adalah perubahan yang tumbuh dan memahami apa yang ada di bawah.

4. Bagong : Suara Lantang dari Kreativitas Penuh Canda

Sosok Bagong mendapat perhatian publik modern setelah viralnya alm. Ki Seno Nugroho membawakan tokoh tersebut secara ikonik. Tokoh Bagong sendiri berpenampilan pendek, berperut besar, mata yang lebar, bibir yang melebar. Ia menurut asal-usulnya adalah tokoh yang tercipta dari bayangan Semar untuk menjadi teman ketika sang Ismaya turun ke dunia menjadi pamong kesatria. Meskipun ia sendiri secara asal-usul lebih tua dari Gareng dan Petruk, ia dianggap menjadi si bungsu oleh Semar yang begitu menyayanginya.

Wayang Bagong gaya Yogyakarta. Sumber: Pinterest.com
Wayang Bagong gaya Yogyakarta. Sumber: Pinterest.com

Ia adalah tokoh yang dikenal lebih lugu ketimbang Petruk maupun Gareng. Meskipun ia sering terjun di lapangan seperti Petruk, namun ia diketahui lebih vokal ketimbang Petruk. Sisi blak-blakan dari Bagong ini ditambah guyonannya yang spontan membuat tokoh ini menjadi tokoh yang sering dinanti-nanti kehadirannya oleh penonton. Spontanitas Bagong ini sering dikaitkan dengan dunia kreatif yang mampu bersuara lantang terhadap kekakuan sistem. Guyonan-guyonan out of the box dari Bagong membuat karakter ini begitu disayang penonton.


Kehadiran Bagong menjadi representasi bahwa cerita wayang tidak melulu adalah sebuah cerita lurus nan serius, tetapi menjadi tanda bahwa seorang dalang pun harus bisa melawak dan memberi nuansa penyegaran dalam pertunjukkan. Adanya Bagong seakan menjadi punchline yang mengukur daya kreativitas dalang. Tanpa adanya kreativitas semacam ini, pertunjukkan wayang mungkin akan dapat kehilangan penontonnya.


5. Togog : Berprinsip dalam Setiap Perubahan

Selain punakawan pamong kesatria, terdapat pula tokoh punakawan bagi tokoh-tokoh jahat. Mereka adalah Togog dan Bilung. Kedua punakawan ini dalam lakon-lakon pewayangan memiliki majikan yang berbeda-beda dari golongan angkara murka di setiap lakonnya dimana tak jarang majikan mereka berakhir naas mati di tangan Pandawa atau Ramawijaya.

Wayang Togog gaya Yogyakarta. Sumber: wayang.files.wordpress.com
Wayang Togog gaya Yogyakarta. Sumber: wayang.files.wordpress.com

Sosok Togog sendiri seperti punakawan lainnya digambarkan memiliki kecacatan fisik, ia berbibir besar memanjang dengan mata lebar dan juga perut besar. Menurut asal-usulnya, Togog adalah kakak dari dewa Ismaya yang bernama Antaga. Ia turun ke dunia bersama adiknya itu setelah mereka kalah dalam perebutan kekuasaan sebagai pemimpin dewata yang dimenangkan oleh adik bungsu mereka yaitu Manikmaya (Batara Guru).

Sosok Togog dalam setiap jalan cerita pewayangan digambarkan selalu mengingatkan majikannya untuk tidak berbuat jahat, ia bersama rekannya, Bilung, digambarkan banyak beradu argumen yang selalu berakhir dengan kegagalan mereka untuk membujuk rencana majikannya mengenyahkan para kesatria baik. Beberapa penikmat cerita pewayangan menilai bahwa Togog dan Bilung adalah punakawan yang hanya mementingkan rasa aman diri sendiri dan merepresentasikan dewa yang gagal membimbing dengan fenomena dimana mereka selalu berubah-ubah majikan. Meskipun begitu, tokoh ini dalam beberapa lakon yang melibatkan bagaimana ia berelasi dengan adiknya, Semar dan juga anak-anaknya, ia diperlihatkan cukup hangat, terbuka, dan juga terlihat sebagai sosok yang memiliki prinsip tersendiri. Dibalik kompleksitas pembangunan karakternya, sisi membangun prinsip diri sendiri dari seorang Togog ini dapat menjadi sebuah pembelajaran menarik dalam hidup.


6. Bilung : Santai dan Ikhlas pada Perjalanan Hidup

Sosok Bilung adalah pendamping Togog yang menurut asal-usulnya berasal dari hawa nafsu Togog yang disabda untuk menjadi manusia. Seperti halnya Togog, ia juga mendampingi sebagai punakawan bagi orang-orang jahat dan angkara murka. Sosok ini dalam seni pedalangan digambarkan sebagai sosok pendek kerdil, bersuara melengking, dan berwujud menyerupai raksasa tetapi masih berkesan lucu. Ia selalu menjadi bahan bulan-bulanan Petruk maupun anak-anak Semar lainnya.

Wayang Bilung gaya Yogyakarta. Sumber: lookandlearn.com
Wayang Bilung gaya Yogyakarta. Sumber: lookandlearn.com

Bilung sendiri adalah tokoh komikal yang dapat dikatakan "Bagong"-nya punakawan orang-orang jahat. Dengan karakter yang terkadang suka semau sendiri namun sering menjadi bahan bully, sosok Bilung memiliki ciri khas dan penggemarnya tersendiri.

Bersama Togog, Bilung selalu mengalami pergantian majikan. Namun berbeda dengan Togog yang lebih terlihat serius, Bilung seakan menghadapi fenomena yang ada dengan lebih santai dan lapang dada. Hal ini menjadikan sosok Bilung dapat memberi pelajaran agar jangan melupakan saat santai dan keikhlasan dalam menghadapi masalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun