Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Konsultan - Brand Agency Owner

Seorang pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Mendamaikan Pandangan tentang Empati antara Generasi Z dengan Generasi Diatasnya

28 September 2023   16:15 Diperbarui: 28 September 2023   16:28 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto gambaran tentang kerja sama. Sumber : pexels.com

Ketika kita berbicara tentang "empati", umumnya secara mendasar yang terpikir dalam benak kita adalah sebuah pembelajaran maupun kondisi bagaimana kita dapat belajar memahami orang lain. Kita belajar memahami dan merasakan sungguh apa yang dialami dan dirasakan pula oleh orang lain. Tindakan ini dapat diwujudkan atau ungkapkan lewat berbagai cara mulai dari berpendapat, hingga melakukan tindakan tertentu demi kebaikan orang lain tersebut.

Generasi Z dikatakan sebagai generasi yang memiliki kepedulian tinggi terhadap dunia perasaan, sosial maupun kemanusiaan dan oleh karenanya dianggap sebagai generasi dengan rasa empati yang tinggi. Jiwa empati tinggi ini menurut youngsocialinnovators justru dikarenakan  mereka memahami kesengsaraan yang dihadapi umat manusia karena mereka terpapar dan menyerap lebih banyak informasi dibandingkan generasi sebelumnya. Keterhubungan mereka dengan banyak informasi ini telah membentuk dan mengembangkan pemahaman mereka tentang bagaimana sesama manusia juga saling bergantung.

Meskipun begitu, tidak semua orang sepakat tentang pandangan tersebut, communityresearchinstitute misalnya menilai bahwa Generasi Z sangat kekurangan empati.  Mereka cenderung meremehkan nilai awal dari media digital dari komunitas sosial menjadi hanya sebagai sumber hiburan dalam bentuk ironi-ironi dari tidak adanya hubungan antarmanusia. Pendapat senada juga diutarakan dalam slpecho dimana Generasi Z dicatat tidak menganggap serius topik berat.  

Dikatakan bahwa saat dihadapkan pada konflik global misalnya, adalah sesuatu yang wajar jika orang merasa cemas atau takut terhadap apa yang mungkin terjadi. Namun sebaliknya, Gen Z cenderung membuat meme atau video Tik Tok yang mengolok-olok situasi yang dihadapi, misalkan dengan menggunakan konflik Rusia-Ukraina saat ini, justru ada banyak sekali lelucon yang dibuat di media sosial tentang Perang Dunia III dan proses wajib militer. 

Daripada menawarkan dukungan atau bantuan apa pun kepada orang-orang yang terkena dampak konflik ini, Gen Z malah menemukan cara untuk menunjukkan jati diri mereka dan menggunakan humor di saat krisis. Ini mengindikasinya adanya ekstrim pola pikir berbeda di kalangan mereka dimana ditemukan adanya orang-orang yang memiliki coping mechanism  dalam bentuk humor untuk malah mendistraksi perhatian dan pelampiasan emosi terpendam dalam diri mereka.

Foto dua orang berkomunikasi. Sumber: pexels.com
Foto dua orang berkomunikasi. Sumber: pexels.com

Dengan adanya dua pandangan ekstrim tersebut, dapat kemudian muncul sebuah pertanyaan: lalu bagaimana generasi Z dan generasi diatasnya dapat sepakat mengenai empati? Bukankah ada semacam kontradiksi bahwa mereka dapat mengenal banyak informasi sosial yang membuat mereka memahami fenomena-fenomena sosial lebih dalam tetapi di sisi lain mereka tidak dapat mengutarakan dalam tata krama yang tepat karena mereka bisa jadi malah memprioritaskan perhatian dan pelampiasan ekspresi dalam diri mereka?

Communityresearchinstitute sendiri menilai bahwa langkah pertama untuk menjembatani gap dari empati antar generasi sendiri adalah bagaimana akhirnya sebuah pengalaman atau rasa di luar adanya media sosial diciptakan. Dengan adanya hal-hal yang membuat mereka mengeksplorasi kebutuhan adanya keotentikan dalam diri mereka dan juga rasa berkomunitas dapat menghidupkan rasa keinginan untuk terkonteksi dengan orang lain. Ini juga diusulkan oleh Forbes dimana dalam perusahaan sendiri, pemberian suasana dimana Generasi Z dikondisikan untuk diarahkan pada perspektif "apa yang dapat mereka bantu" ketimbang suasana adanya tuntutan pengukuran produktivitas kerja akan membuka jembatan komunikasi antar generasi yang melibatkan mereka.

Pada akhirnya, patut diakui memang ada semacam "shifting" generasi yang cukup ekstrim. Perubahan ini juga pada akhirnya menuntut perubahan tatanan dari setiap orang, komunitas, maupun tempat kerja untuk akhirnya lebih mengeksplorasi sisi sosial dari masing-masing entitas. Value-value tradisional yang intangible mulai dari tata krama hingga etos kerja justru sangat diperlukan namun di sisi lain memang menjadi hal-hal yang harus lebih dibawakan untuk dapat membumi di tengah era generasi yang sarat akan informasi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun