Kemunculan media sosial yang semakin popular saat ini seolah menjadi jalan untuk melampiaskan rasa jengkel terhadap rasa keadilan yang tidak pernah terpuaskan itu. Gosip dan makian di ruang nyata yang terbatas telah mencuat ke dunia maya. Semakin banyak orang terlibat. Jangkauan semakin meluas.
Tak ada yang bisa mengerem diskusi publik di media sosial seperti itu. Berbeda dengan ranah hukum dikenal sangat prosedural, ruang media sosial tidaklah demikian. Cirinya spontan. Begitu melihat postingan judul berita, “diduga korupsi” saja, reaksi cepat seperti marah, caci-maki, dan tidak senang muncul di kolom komentar. Mengubah nama akunnya terlebih dahulu membuat orang melampiaskan begitu saja amarahnya tanpa harus dimintai pertanggungjawaban dan memperhatikan perasaan si korban dan keluarganya.
Semua itu menjadi isyarat bahwa pejabat publik yang terlibat korupsi tidak boleh bangga ketika bebas dari jeratan hukum. Bebas dari serangkaian tuduhan yang digadaikan dengan uang tidak berarti bebas dari hukuman. Tekanan di media sosial adalah bentuk hukuman secara sosial.
Akan tetapi cirinya yang terlampau spontan, dunia media sosial akhirnya mudah dimanipulasi. Inilah yang tidak disadari banyak pihak pengguna media sosial.
Saya selalu teringat reaksi spontan dari seluruh penumpang dalam bus metromini ketika mendengar salah seorang penumpang berteriak “pencopet!”. Semua menyerbu dengan amarah yang menyala-nyala, menghardik sekuat tenaga, dan hampir menghabisinya. Kemudian menyesal dan meminta maaf ketika pencopet yang sebenarnya sudah pergi menjauh. Inilah: “maling teriak maling.”
Dunia media sosial pun demikian. Anda dan saya tidak pernah tahu intensi dari setiap penulis berita. Kita tidak selalu cukup mampu untuk menilainya secara kritis. Saya kadang sulit membaca apa yang “tak tertulis.” Emosi seringkali terpancing oleh apa yang tertulis tanpa mau menimbangnya secara mendalam.
Tipu daya media bisa membuat emosi kita dieksploitasi secara gampang. Kita bisa diprovokasi dan diadudomba. Marah, benci, jengkel tanpa alasan yang tepat. Tawaran nilai dan gagasan terlampau banyak di media sosial. Jadilah kita manusia yang tak berprinsip seperti kerbau dicocok hidung.
Saya kadang berpikir agar lebih was-was dan etis dalam memberi penilaian di media sosial. Tidak begitu vulgar dan berlebihan. Jangan sampai apa yang terjadi pada seorang anak di Amerika yang bunuh diri karena di-bully di media sosial terulang. Tapi toh inilah realitas. Semua orang tidak bisa diharapkan berperilaku etis, santun, dan rasional.
Hanya ada satu jalan yang mungkin. Saya selalu percaya peribahasa lama ini: “mencegah lebih baik daripada mengobati.” Kalau mau dibahasakan secara positif, kehadiran media sosial seharusnya mendorong pejabat publik untuk semakin berintegritas.
Walapun kompensasi hukuman dapat ditempuh melalui uang dan kekuasaan, reputasi buruk sulit dicegah persebarannya di media sosial. pencegahannya hanya dengan menjaga integritas.
Bukan tidak mungkin, melihat tuduhan sosial bahwa orangtuanya adalah pencuri, perampok uang negara, dan penjahat, seorang anak akan marah, sakit hati, dan frustrasi.