Mohon tunggu...
gregorius afioma
gregorius afioma Mohon Tunggu... -

life is beautiful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tatanan Nilai

24 September 2014   15:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:43 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tentu saja bagi Plato, seorang pemimpin punya kualifikasi yang tinggi. Ia bukan orang yang rakus akan makan dan minum, seks, dan uang. Bukan pula seorang yang merebut jabatan publik untuk mendapatkan apresiasi dari masyarakat . Sebaliknya politisi adalah pencinta nilai-nilai keadilan, kebaikan, keberanian, dan kebijaksanaan.

Seorang pemimpin harus cerdas, tidak saja secara intelektual tetapi juga emosional dan spiritual. Menurut Plato, filsuf adalah sosok yang tepat untuk posisi tersebut. Tentu saja, gambaran filsuf  saat itu berbeda dari zaman selanjutnya. Filsuf  ialah figur yang telah ditempa melalui pendidikan berdisiplin tinggi dan khusus. Mereka tinggal di tengah masyarakat, mampu melakoni hidup tanpa beristri, dan sejumlah larangan-larangan yang keras lainnya. Salah satu yang digambarkan cukup ekstrem misalnya, demi menjaga kebugaran raga, ketika berkemah di tepi pantai, seorang filsuf  dilarang makan ikan.

Singkat kata, tokoh filsuf adalah gambaran pribadi yang mampu memahami tatanan nilai dan terdorong untuk selalu terarah kepada nilai tertinggi, yakni memperoleh pengetahuan-pengetahuan sejati tanpa tunduk pada nafsu epithumia dan thumos. Melayani rakyat adalah tujuan utamanya.

Ancaman Demokrasi

Membandingkan kenyataan sekarang, ada situasi kekacauan tatanan moral. Para politisi belum sepenuhnya terbebas dari belenggu epithumia dan thumos. Semangat mencari kekuasaan demi kehormatan masih kental. Uang dan gratifikasi seks sangat familiar di kalangan elite politik.

Cita-cita demokrasi masih jauh dari harapan. Sejatinya demokrasi  menurut Aristoteles adalah ruang diskursus tentang keutamaan-keutamaan moral. Sebab sebagai makluk rasional, manusia tidak saja ingin hidup belaka yakni hanya pemenuhan kebutuhan dasar seperti makan dan minum, tetapi juga ingin hidup bahagia. Kebahagiaan hanya tercapai melalui diskusi basis moral tersebut. Hal itu hanya mungkin ketika ruang politik steril dari pengaruh-pengaruh uang dan popularitas.

Dipenuhi para politisi  yang minim kesadaran nilai dan berkarakter, demokrasi saat ini masih terancam. Pemimpin memanfaatkan rakyat yang masih mudah dibuai oleh uang. Popularitas seorang artis dalam kampanye mampu merangsang pilihan-pilihan yang irasional dalam pemilihan umum.

Tanpa memahami tatanan nilai, tentunya kita bisa jatuh ke dalam hidup “belaka” seperti para pengungsi, tawanan perang, dan pencari suaka. Inilah yang disebut Carl Schmitt, filsuf asal Jerman, sebagai keadaan darurat.

Cara-cara seperti pengutamaan kurikulum pendidikan berbasis nilai-nilai kehidupan dan karakter, pertimbangan rekam jejak seorang calon pemimpin dengan cermat, konsolidasi masyarakat sipil melawan politik uang dan kepentingan oligarkhi adalah usaha yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan demokrasi yang sedang “sakit” saat ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun