Namanya Ayub Maitimu. Kesehariannya bekerja sebagai nelayan di suatu pelosok desa di selatan-selatan Indonesia. Tepatnya di Desa Uhak, Kecamatan Wetar Utara, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku.Â
Perawakannya biasa-biasa saja, tetapi layaknya nelayan Indonesia Timur, badannya cukup berisi lantaran sering melaut, mencari ikan dan kadang mengantarkan orang ke tujuan desa tertentu jika ada yang menyewa body atau jolornya.Â
Di kalangan penduduk desa Uhak, Ayub dikenal sebagai Marinyo. Tugas utamanya adalah memberitahu masyarakat jika ada kegiatan seperti pertemuan di balai desa, kerja bakti atau kegiatan lain yang melibatkan masyarakat Uhak.Â
Karena tidak ada alat pengeras suara, maka Ayub biasanya berjalan sambil meneriakkan agenda apa yang bakal dilakukan di desa. Tidaklah mengherankan, jika intonasi bicaranya selalu terdengar keras, meskipun Ia cuma berbincang dengan orang lain.Â
Sebagian besar orang yang hidup di kota barangkali tidak bermasalah dengan media komunikasi karena begitu banyak media yang dapat dipilih untuk memberikan informasi. Namun di daerah yang masih terkendala dengan alat komunikasi, peran Marinyo masih dibutuhkan.Â
Seorang Ayub, jarang mengeluh meskipun seringkali harus melaksanakan tugasnya dan meninggalkan pekerjaannya. Pekerjaan Marinyo, membutuhkan pengorbanan karena tidak dibayar.Â
Ia tidak terdaftar sebagai bagian dari aparat desa yang menerima honor. Karena itu, seharusnya Pemerintah Daerah lebih memperhatikan kesejahteraan sang Marinyo mengingat jerih payahnya.Â
Meskipun tak dibayar, Ayub Maitimu sangat mencintai tugasnya sebagai Marinyo. Ia senantiasa siap menjalankan permintaan dari Kades untuk berkeliling kampung dan memberi pengumuman, atau informasi penting kepada warga desa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H