Mukanya selalu terlihat sangar dan brewokan. Â Tanpa senyum, apalagi tawa. Lebih suka diam daripada berbicara.Â
Langkah kakinya selalu dipercepat, seolah-olah ada yang mengejarnya dari belakang. Atau seperti ada sesuatu yang harus dikerjakan sehingga tampak tergesa-gesa.
Entah nama aslinya siapa, tetapi orang-orang menyebutnya dengan naman Pak Jagal. Sebab pekerjaan utamanya adalah menjadi penjagal sapi setiap malam Selasa.Â
Biasanya hari Rabu pagi, para pembeli sudah berdatangan untuk membeli daging sapi segar yang baru saja dijagal.
Namun bukan pak Jagal yang menjual daging-daging sapi itu. Ia hanya diminta untuk jadi penjagal sapi. Sebagai balas jasa, pria setengah baya ini dibayar sesuka relanya saja.
Pak Jagal juga boleh membawa pulang beberapa potong daging. Sekerat daging, sepotong tulang yang masih ada isinya, dan beberapa potong jeroan.
Pak Jagal tinggal sendiri di gubuk sederhana. Letak rumahnya paling ujung dari kampung kami.Â
Jarak rumahnya dengan tetangga terdekat sekira 350 meter. Biasalah, rumah-rumah di kampung memang masih jarang-jarang. Dibatasi dengan pekarangan untuk menanam berbagai jenis tanaman.
Di depan rumahnya, ada satu pohon beringin tua. Entah umurnya berapa, kami tidak tahu. Barangkali lebih tua dari umur pak Jagal yang kami taksir 57 tahun.
Setiap malam, beberapa burung hantu akan berdatangan ke situ. Burung-burung malam ini mengeluarkan suara yang sangat menyeramkan.
Kadang hanya satu suara, tetapi lebih seringnya ada dua atau lebih burung hantu. Mereka bersahut-sahutan, mirip konser malam orang yang mabuk kepayang.Â