Pagi ini seorang ibu ragu-ragu meletakkan barang bawaannya di kursi ruang tunggu. Masih muda dan ayu. Â Nampaknya ia tidak nyaman, hendak duduk di sampingku.Â
Entahlah. Barangkali karena wajahku yang khas Indonesia timur. Hitam, rambut cepak tapi masih terlihat kriwil-kriwilnya. Untung mengenakan masker sehingga tak nampak kumis tebalnya.
Aku beringsut ke samping. Mempersilakan si ibu nan ayu bersama bayinya untuk duduk di kursi sebelah. Dengan agak terpaksa, ia pun duduk. Â Lalu berusaha untuk lebih fokus melihat bayinya.
Lumayan banyak bawaannya. Ada tas pakaian, keranjang popok, dan satu tentengan lain berisi susu, air panas dan beberapa bungkus roti.
"Maaf bu, mau kemana?", sapaku sekenanya saja. Mencoba menenteramkan hatinya  biar bisa merasa nyaman. "Surabaya!" Jawabnya singkat.Â
Beberapa saat kemudian, percakapan kami menjadi lancar. Dan kemudian ia pun jujur bahwasanya tadi merasa was-was karena rupa saya yang beda.Â
"Ah tak apa-apa bu. Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Barangkali banyak yang berpikir, orang seperti aku ini adalah orang jahat. Tukang palak. Tukang pukul, atau debt collector", sahut ku sambil tersenyum kecut. Â
"Tapi sebenarnya tidak juga bu. Orang berwajah sangar belum tentu orang jahat. Dan orang berwajah manis 'baby face' belum tentu juga orang baik-baik". Â Sambungku namun cuma di dalam hati.Â
Beberapa saat kemudian, si ibu menitipkan barangnya untuk dijaga. Rupanya ia hendak ke toilet.Â