Artikel ini merupakan tulisan terakhir dari rangkaian pelaksanaan Projek Penguatan Profil  Pancasila ala TKK Canossa Kupang. Topik kegiatannya,  'Produk Lontar dan Kearifan Lokal NTT'.
Sebelum melanjutkan artikel sederhana ini, saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada sahabat Kompasiana atas dukungan dan apresiasinya, terutama bagi tiga artikel terdahulu terkait pohon Lontar dan pemanfaatannya dalam kehidupan masyarakat NTT.
Juga ditujukan kepada para guru, suster, dan komite sekolah yang selalu melibatkan orang tua siswa dalam kegiatan-kegiatan tematiknya. Dengan demikian, kami sebagai orang tua pun dapat melihat dari dekat, sejauh mana perkembangan anak-anak kami di sekolah.
Artikel keempat ini akan lebih banyak menghabiskan kuota tentang pemanfaatan air nira dan buah Lontar alias Saboak oleh masyarakat NTT.
Nira dan Produk Olahannya
Hampir semua kita tahu tentang apa itu nira. Tidak lain adalah air sadapan dari beberapa jenis pohon seperti enau, kelapa, gebang, dan saboak. Nira rasanya manis. Dinamakan tuak manis.
Namun nira juga cepat terfermentasi dan berubah rasa menjadi asam setelah disimpan beberapa jam. Bahkan bisa memabukkan. Sebagian orang, mencampurkan akar-akar dan kulit kayu tertentu untuk menambah kadar alkohol. Namanya laru, atau disebut Tuak Moru dalam bahasa Tetun, Belu
Kebanyakan penyadap nira di Kota Kupang dan daerah lain di NTT berasal dari Rotendao dan Sabu. Asal ada pohon Saboak, maka kemungkinan besar ada orang Rote dan Sabu. Mereka memang paling jago memanfaatkan dan mengolah Saboak menjadi produk-produk bernilai ekonomi.
Sopi merupakan salah satu produk dari air nira, utamanya nira Saboak. Sopi mengandung alkohol, dan bisa memabukkan. Beberapa sebutan untuk sopi yaitu tuak nakaf (dawan) atau sopi kepala, moke (Flores), dan sopi Kisar berasal dari Kisar, Maluku Barat Daya.