Sementara, di rumah pekerja yang tak lagi bekerja alias terkena PHK kebingungan. Mau mencari pekerjaan baru dalam waktu yang dekat, rasanya sulit. Pahit, sepahit menyantap buah paria mentah. Atau minum jus sambiloto.
Mau usaha sendiri? Tak punya modal. Kapasitas pun tak mumpuni. Sebab, selama ini ia hanya diarahkan menjadi pekerja. Buruh kasar. Dipaksa untuk menaikkan produksi, dengan iming-iming beberapa lembar uang lembur untuk sekian kenaikan produksi.
Anak menangis, minta susu. Kompor minyak tanah tergeletak di sudut dapur, kering. Beras tinggal secangkir buat ditanak siang ini. Si sulung menghampiri, membawa surat dari sekolah perihal tunggakan uang sekolah 3 bulan. Jika tak dibereskan, maka anak tak diperkenankan mengikuti ujian sekolah.
Ah, biaya sekolah semakin tinggi rupanya. Padahal, bantuan pendidikan pun semakin meningkat signifikan. Bendahara kerajaan dan menteri urusan pendidikan kerajaan pun tak menampik peningkatan bantuan pendidikan tersebut.
Sang menteri selalu menyampaikan, bantuan pendidikan bagi warga kerajaan tak hanya untuk fasilitas sekolah, tetapi termasuk untuk beasiswa. Utamanya, bagi anak-anak rakyat biasa yang pendapatan orang tuanya tidak jelas, atau pas-pasan. Tetapi bagaimana pengelolaannya, rakyat kurang tahu. Rerumputan yang sedang bergoyang pun enggan menjawab ketika ditanya.
Sang ayah bergegas mengambil motornya, ingin mencari inspirasi dan peluang kerja. Siapa tahu, bertemu. Tiga kali men-starter motornya, tak hidup-hidup. Diperiksanya tanki motor. Ups, kering kerontang. Ah, mau cari kemana selembar sepuluh ribu untuk 'memberi minum' motorku ini?
Ia menjadi semakin galau. Buntu pikirannya. Tak sadar, mengambil selembar kertas karton bekas. Mencoret seadanya, tentang kisah hidupnya. Juga menuangkan satu dua kata harapannya. Bergegas, ia pun berjalan kaki. Sendirian, ingin menghadap sang Raja di istana.
Beberapa orang yang berpapasan dengannya, membaca tulisan sang ayah. Tersenyum kecut, merasa senasib. Seketika, memutuskan untuk berjalan di belakang pembawa karton bertuliskan kegetiran hidup.
Semakin lama, semakin banyak orang yang mengikuti di belakang. Ratusan menjadi ribuan. Mereka berjalan dengan tertib, sambil menyanyikan lagu perjuangan mereka. Satu tujuan, menghadap raja.
Satu dua penjaga keamanan kerajaan, tak mampu mengatasi rombongan. Akhirnya mereka pun ikut mengawal, memastikan agar rombongan yang semakin mengular ini, tidak memacetkan jalan atau menimbulkan keonaran sepanjang jalan.
Satu jam perjalanan. Tibalah mereka di depan istana Sang Raja. Nampak beberapa pembantu Raja yang biasa menjilat tergopoh-gopoh menghadap sang Raja. Agak kecut muka mereka. Takut jika kelakuan mereka selama ini, terbongkar di muka Sang Raja.
Para penghadap pun berseru, ingin bertemu dan menyampaikan kegalauan dan kesulitan hidup mereka, langsung kepada sang Raja. Beberapa pembantu yang mencoba memberi penjelasan, diminta untuk berdiam diri.