Indonesia hanya mendapatkan 21,5% Â atau 121 dari 576 kursi yang berhasil diraih oleh perempuan di parlemen. Jauh di bawah Mexico dan Emirat Arab (50%), Nikaragua (50,6%),Kuba yang sebesar 53,4% dan Rwanda yang mencapai 61,3%.
Padahal, Undang-Undang No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, telah mengatur agar komposisi keterwakilan perempuan melalui  Partai Politik minimal sebesar 30%. Atau lebih dikenal dengan kuota 30% perempuan.
Sejatinya, kuota 30% bagi perempuan untuk berpolitik lewat parlemen, memotivasi dan memberi peluang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia politik di Indonesia.
Perempuan Menjadi Penting dalam Berpolitik
Beberapa hal mengapa perempuan menjadi penting dalam berpolitik, diantaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Sudah ada kebijakan afirmasi atau kuota 30 persen untuk perempuan sejak tahun 2008. Kebijakan ini semestinya mendorong perempuan untuk tampil lebih banyak dalam kancah politik di Indonesia. Partai  Politik  pun mulai memberi kesempatan kepada perempuan menjadi nomor urut termuda dalam daftar calegnya.
Kedua, pemilih perempuan lebih banyak dari pemilih pria. Pemilu 2019 misalnya, data DPT dari KPU menunjukkan pemilih perempuan lebih banyak sekitar 126.000 dibandingkan dengan pemilih pria.Â
Banyaknya pemilih perempuan ini, juga sebenarnya dipergunakan oleh sekelompok aktifis dengan mengkampanyekan perempuan memilih perempuan.Â
Ketiga, banyak aktifis perempuan berpendapat, kehadiran perempuan di dalam parlemen dapat ikut menentukan kebijakan dan peraturan yang berpihak pada kepentingan perempuan.Â
Karenanya, caleg perempuan harus berkualitas dan memahami isu, baik yang sifatnya global, nasional, lokal, maupun yang berkaitan dengan isu gender.
Keempat, deretan perempuan yang terpilih menduduki kursi parlemen telah mampu meraih posisi penting dalam komisi-komisi yang ada. Bahkan, Pemilu 2019 mampu mengantarkan Puan Maharani, salah satu politisi perempuan dari PDIP menjadi ketua DPR.Â