Jika zaman dahulu, berita disajikan melalui media cetak dan elektronik, maka kini informasi-informasi terkait Pemilu semakin gencar dilakukan melalui media sosial. Saking ramainya, kita semakin kesulitan untuk membedakan, mana berita yang benar dan mana yang tidak benar alias hoax.
Sebutan relawan pun kini bergeser. Dari yang awalnya tak dibayar, kini menjadi abu-abu. Dibayar tapi tidak mengaku bahwa ia dibayar untuk melakukan sesuatu, dengan tujuan menaikkan popularitas dan elektabilitas seseorang atau partai kontestan.
Nilai Minus terhadap Para Relawan
Beberapa penilaian minus terhadap pada relawan politik yang sering dilakukan oleh masyarakat umumnya adalah sebagai berikut:
Pelaku Kampanye Negatif
Ketika menjelang Pemilu, dunia maya sangat ramai dengan berbagai postingan. Foto dan tulisan berseliweran di berbagai media sosial. Sering terjadi diskusi atau perdebatan panas. Bahkan cenderung saling menyerang dan mendiskreditkan calon lain.
Banyak yang memuat berita tanpa mengecek kebenarannya. Karenanya para relawan sering dicap sebagai pelaku kampanye negatif.
Perusak Atribut Parpol Lain
Dalam dunia nyata, para relawan pun seringkali melakukan aktifitas di luar tugas utamanya. Beberapa kasus perusakan atribut partai lain, atau merobek foto calon lain biasa terjadi.
Kondisi ini, terjadi karena orang yang melakukannya belum memiliki kesadaran tentang bagaimana bekerja dengan baik. Mereka berpikir, dengan merusak atribut partai lain maka para pemilih akan beralih ke partai atau orang yang ia dukung.
Para relawan ini, juga sering merusak atribut orang atau partai lain. Peristiwa ini, sering dilakukandi temapt yang dianggap sebagai basis partai atau figur tertentu. Apalagi para relawan secara sukarela membentuk posko-posko di lingkungan mereka.
Ternyata masyarakat pemilih juga semakin cerdas. Masyarakat malah menunjukkan sikap tidak suka terhadap relawan yang merusak atribut partai lain. Tindakan yang tersebut, malah kontra produktif dan menguntung lawan politik.