Sebenarnya, kawasan Register 24 adalah hutan lindung. Namun kini masuk dalam hutan kemasyarakatan. Di Register 24 ini, terdapat 10 Gabungan Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (Gapoktan HKn) yang telah mengantongi ijin.
Dengan demikian, keberadaan kebun kopi yang bercampur dengan tanaman lain seperti petai, jengkol, durian, aren, pinang, advokad, tidak menyalahi aturan pemerintah.
Putri Malu Yang Diabaikan
Sayangnya, sejauh pengamatan saya, kondisi kawasan air terjun semakin ditelantarkan. Berikut empat hal yang patut menjadi perhatian Dinas Kehutanan dan Perkebunan, bersama Pemkab Way Kanan.
Yang pertama, terkait dengan perbaikan jalan. Jalan menuju kawasan air terjun masih sulit sekali. Beberapa rombongan sepeda motor sering berhenti atau keluar dari jalur setapak. Andaikan dapat diperbaiki untuk dapat dilewati kendaraan roda 4, maka akan banyak peminat yang berkunjung ke sana.
Kedua, pengelolaan fasilitas di sekitar air terjun. Fasilitas di sekitar air terjun tidak ada sama sekali. Ada dua bangunan sebagai kamar ganti, namun tidak bermanfaat sama sekali. Tidak ada WC sehingga terpaksa membuang hajat di sekitar, apabila kebelet.
Tidak ada tempat penampungan sampah. Ditambah lagi dengan kesadaran pengunjung yang masih rendah, menyebabkan sampah plastik seperti bungkus sabun dan bungkusan makanan berserakan di sekitar.
Tempat parkir motor cukup luas. Saat kami sampai, ada dua orang penjaga yang bertugas untuk mengarahkan pemgemudi memarkir kendaraannya, sekaligus memungut biaya masuk. Karcis sepeda motor sebesar Rp10.000,00 dan biaya masuk per orang adalah Rp 5.000,00.
Ketiga, pengetatan kawasan hutan. Ketika mengamati kawasan sekitar air terjun, saya menemukan ada kayu yang dipotong. Entah siapa yang memotongnya. Seharusnya pemotongan kayu di sekitar kawasan tersebut dilarang.
Keempat, bersama dinas pariwisata membuat paket wisata. Mengingat potensi wisata yang bisa dinikmati, maka perlu dijalin kerjasama antardinas untuk membuat semacam paket wisata.