Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Mengembalikan Kejayaan Nilam Aceh

25 Mei 2022   16:17 Diperbarui: 26 Mei 2022   07:22 1956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sugianto, petani Nilam di Gampong Paroi yang menanam cabai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dok pribadi

Nilam atau Patchouli adalah tanaman yang sudah lama dikembangkan di Indonesia. Nilam punya aroma yang sangat khas. Bahkan secara alami, aroma nilam ini akan bertahan lebih dari 24 jam.

Nilam memiliki bau yang sangat khas. Karenanya, ada yang suka dan tidak suka. Dalam dunia industri kosmetik, minyak nilam dipakai untuk bahan campuran kosmetik, farmasi dan aroma terapi. Pencampuran ini dikarenakan minyak nilam mampu bertindak sebagai zat pengikat atau fixative agent yang stabil. 

Patchouli oil merupakan komoditas penting yang menguasai pangsa pasar ekspor untuk kategori minyak atsiri. Data dari Ditjen Perkebunan RI ditjenbun.pertanian.go.id mengungkapkan, ekspor minyak nilam menguasai 85% pengiriman atsiri, terutama ke Singapura, Amerika Serikat, Spanyol, Perancis, Swiss dan Inggris.

Di dalam negeri, penggunaan minyak dari tanaman bernama ilmiah Pogostemon cablin Benth ini masih terbatas. Namun perkembangan industri kosmetik dan parfum seperti Mustika Ratu, Sari Ayu, Viva Cosmetics diharapkan mampu menyerap pemakaian minyak nilam dalam negeri kita.

Nilam Aceh dan persoalan di Tingkat Petani

Dari beberapa literatur kita akan tahu bahwa tumbuhanan berbentuk semak ini merupakan tanaman asli daerah tropis Asia. Yaitu di India, Filipina dan Aceh Indonesia. Dari Aceh, tanaman nilam menyebar ke Indonesia.

Dan kini selain Aceh, nilam juga dikembangkan di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan sebagian besar provinsi di Pulau Sulawesi (Ditjen Perkebunan RI).

Nilam Aceh masih dipercaya sebagai nilam yang berkualitas tinggi di tengah munculnya varietas baru yang telah mengantongi SK Kementan seperti Sidikalang, Patchoulina 1 dan Patchoulina 2.

Namun di daerah asalnya, pertumbuhan luas tanaman nilam dari tahun 2018 ke tahun 2022 cenderung melambat meskipun masih memiliki pertumbuhan positif yaitu sebesar 0,74%. Namun kalah dengan Sumatera Barat yang pertumbuhannya mencapai 2,14%.

Pertumbuhan luas lahan nilam, justru meningkat pesat di Sulawesi Tengah (141,98%), Sulawesi Selatan (141,98%) dan Sulawesi Barat yang mencapai pertumbuhan sebesar 12,78%. Demikian data yang dipublikasikan pertanian.go.id.

Dalam kunjungan ke petani Nilam di Gampong Paroi dan Gampong Geunteut, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar pada 20-23 Mei 2022 ini, dapat diketahui ada beberapa faktor penyebabnya.

Pertama, petani kurang fokus untuk mengembangkan usahatani Nilam. Sugianto, seorang petani Gampong Paroi yang sudah 40 tahun bertanam Nilam, menyampaikan bahwa kurang fokusnya mereka bukan tanpa alasan.

Yang pasti, petani harus menempuh strategi agar dapur keluarga tetap mengepul. Selain bertanam Nilam, ia juga harus bertanam komoditas pertanian lainnya. Diantaranya, durian, pinang, katuk dan cabai.

Jagung dan tanaman lain yang disukai monyet tidak dapat ditanam di areal Gunung Paroi sebab hanya akan dinikmati oleh pasukan monyet yang populasinya tinggi sekali sepanjang kawasan Paroi. Karena tidak fokus, maka lahan yang ditanami Nilam pun tak seberapa luas.

Sugianto, petani Nilam di Gampong Paroi yang menanam cabai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dok pribadi
Sugianto, petani Nilam di Gampong Paroi yang menanam cabai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dok pribadi

Kedua, perawatan Nilam ala kadarnya. Saat berkunjung ke kebun Sugianto, tanaman Nilamnya dibiarkan tanpa perawatan. Jarak tanam, pemberian pupuk, dan penyiangan gulma tidak dilakukan.

Bahkan rumpun tanaman Nilam yang tumbuh di bawah rerimbunan pohon tinggi mengalami pertumbuhan yang kerdil. Mereka menamakannya sakit Budok.

Ketiga, naik turunnya harga minyak Nilam di tingkat petani. Menurut Sugianto, harga minyak Nilam selalu naik turun. Harga minyak Nilam pernah naik sampai jutaan rupiah per kilogram, namun turun hingga Rp 90.000 per kilogram. Demikian kendala petani di sektor pemasaran. 

Keempat, pendampingan yang tidak kontinu. Beberapa kali, Sugianto dan petani Paro mendapatkan bantuan. Yang masih diingat, bantuan dari lembaga bernama Genesis. Sekalipun sudah lupa, beliau masih bertutur, kala itu mereka didampingi sendiri oleh seseorang bernama Alex berkebangsaan Perancis.

Pedagang pengumpul rempah di Banda Aceh, termasuk minyak nilam untuk dikirim ke Medan, Sumut. BTW ini minyak gratis untuk kami. Dok pribadi.
Pedagang pengumpul rempah di Banda Aceh, termasuk minyak nilam untuk dikirim ke Medan, Sumut. BTW ini minyak gratis untuk kami. Dok pribadi.

Petani dilatih untuk bertanam dan merawat Nilam dengan baik, menjalankan kegiatan processing sendiri lalu memasarkan minyaknya ke Medan, Sumatera Utara.

Minyak Nilam tersebut kemudian diekspor ke Perancis. Dan kala itu, harga minyak Nilam termasuk bagus, Rp 700.000 di tingkat petani.

Namun pendampingan hanya dilakukan sekitar 2 tahun. Setelah dihentikan, kelompok tani pun tidak merawat tanamannya seintensif dulu. Pak Gianto, salah satu petani yang masih bertahan untuk mengelola kebun Nilamnya. Ala kadarnya. Termasuk mencari dan menjual minyak hasil penyulingannya sendiri ke Banda Aceh.

Upaya Mengembalikan Kejayaaan Nilam Aceh

Nilam Aceh pernah jaya. Selain karena telah dibudidayakan dan dipasarkan sejak dahulu kala, minyak Nilam Aceh memiliki kualitas tinggi.

Kini, beberapa lembaga mulai giat lagi untuk mengembalikan kejayaan Nilam Aceh. Salah satunya, kolaborasi antara Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala (ARC-USK) dengan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN).

Program kolaboratif ini juga melibatkan stakeholder lain, di antaranya Bappenas dan Kemenkop RI. Dengan dukungan riset dan dana yang memadai, mereka mampu membina petani untuk bertanam Nilam secara baik, menjalankan proses penyulingan untuk mendapatkan minyak berkualitas tinggi.

Hendra, operator mesin pengompos daun nilam yang difasilitasi oleh USK. Dok pribadi
Hendra, operator mesin pengompos daun nilam yang difasilitasi oleh USK. Dok pribadi

Menurut Hendra, penggerak petani di lapangan sekaligus bertanggung jawab terhadap operasional penyulingan minyak dan pembuatan kompos daun Nilam, harga di tingkat petani sekarang dibandrol Rp 630.000 per kilogram minyak Nilam. Petani dapat menjual produk mereka melalui Koperasi Inovasi Nilam Aceh, atau nama kerennya INOVAC.

Beberapa berita keberhasilan kolaboratif ini dapat kita baca di beberapa media massa seperti pada www.ajnn.net. Dalam media ini, para penggerak menyampaikan bahwa program yang mereka jalankan ini sifatnya dari terpadu.

Ya, konsep yang mengusung tema "Sustainable Farming Nilam, from Seed to Seal" ini dipusatkan di Gampong Geunteut, Lhoong ini mengusung program besar mulai dari pembibitan dan budidaya ala fertigasi. Juga menyangkut pengembangan rumah kompos dengan zero waste technology, pembangunan shelter dan ketel penyulingan nilam.

Shelter-ketel minyak Nilam yang dibangun oleh USK di Gampong Geunteut, Lhoong, Aceh Besar. Dok pribadi
Shelter-ketel minyak Nilam yang dibangun oleh USK di Gampong Geunteut, Lhoong, Aceh Besar. Dok pribadi

Komplit dan semoga mendapatkan dukungan yang lebih banyak lagi. Utamanya dari para petani, pemerintah desa setempat dan dinas-dinas terkait. Sebatas itu? Tentu tidak. Pemasaran hendaknya diperhatikan juga, meskipun tujuan USK juga mengembangkan riset parfum dan kosmetik berbasis patchouli oil.

Dengan adanya dukungan yang luas dari berbagai kalangan, maka niscaya cita-cita mengembalikan kejayaan Nilam Aceh akan terealisasi. 

Siapa berpikir dan bertindak, padanya akan diberikan berkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun