TEATER KOMA. Mungkin terdengar asing bagi generasi 2000-an. Namun sebagian besar generasi yang sudah bersekolah di era akhir tahun 1970-an hingga tahun 1990-an pasti cukup familiar dengan nama ini.
Beberapa pembaca di sini, barang kali pernah menonton kiprah pemain-pemain teaternya di TVRI. Bahkan langsung menonton para main drama favoritnya melakukan pentas seni. Di antaranya di Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, atau di kota lainnya di Indonesia.
Teater Koma, adalah perkumpulan para seniman. Tidak berorientasi pada profit alias non profit oriented. Didirikan pada 1 Maret 1977 sebagai wadah bagi para seniman untuk berkreasi dan menghasilkan karya-karya seni peran yang bermutu.
Awal mulanya, didirikan oleh 12 orang pemain teater profesional. Beberapa di antaranya adalah N. Riantiarno, Ratna Madjid, Rima Melati, Rudjito, Jajang Pamontjak dan Titi Qadarsih. Pemimpin Teater ini dipercayakan kepada N. Riantiarno yang juga bertindak sebagai penulis skenario dan sutradara.
Teater sendiri didefinsikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dalam tiga versi. Yang pertama, diartikan sebagai gedung atau ruangan tempat pertunjukan film atau sandiwara.Â
Versi kedua, diartikan sebagai ruangan besar dengan deretan kursi-kursi ke samping dan ke belakang untuk mengikuti kuliah atau untuk peragaan ilmiah. Sedangkan pengertian ketiga diartikan sebagai pementasan drama suatu seni atau profesi, seni drama dan sandiwara.
Sejak didirikan, pentas Teater Koma tak pernah sepi dari para penggemarnya.Â
Sekali pun dipentaskan lebih dari satu kali. Di era Orde Baru, Teater Koma menjadi salah satu bentuk perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Kritik-kritik terhadap kesenjangan sosial dan ketidakadilan dikemas dalam pertunjukan yang selalu memukau penonton.
Saking setianya penonton, pertunjukan sering kali dilakuan hingga seminggu atau dua minggu. Tiket-tiket pertunjukan pun selalu habis diserbu para penggemar.