Problem mahalnya minyak goreng masih belum move on dari negeri +62 tercinta ini. Emak-emak masih saja  berburu minyak goreng dari satu tempat ke tempat lain, sekalipun mobilitas mereka masih bersifat lokal. Padahal, Pemerintah RI melalui Kemeterian Perdagangan telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi alias HET minyak goreng ini per 1 Februari 2022.Â
Muhammad Lutfih, sang Mendag telah menyampaikan dengan jelas, HET tertinggi untuk minyak goreng curah sebesar Rp 11.500 per liter. Sedangkan minyak goreng kemasan sederhana berada pada Rp 13.500 per liter dan Rp 14.000 untuk kemasan premium. Harga ini sudah termasuk PPN. Jadi seharusnya para pengecer tidak boleh menaikkan harga lebih tinggi lagi.Â
Minyak goreng curah merupakan minyak goreng sawit yang dijual kepada konsumen, Â tidak dikemas dan tidak memiliki label atau merek. Biasanya, dijual dalam kemasan plastik. Perlu dibedakan, minyak goreng curah ini tidak sama dengan minyak goreng bekas yang juga sering dijual bebas di pasar-pasar rakyat, digunakan oleh pedagang gorengan untuk menggoreng aneka kue dagangannya.
Sempat dipastikan bakal dilarang per 1 Januari 2022, nyatanya dibatalkan dan tetap diperdagangkan hingga sekarang. Barangkali Kemendag sedang mengkaji untuk benar-benar diberlakukan dalam rangka menerapkan Permendag No. 36/2021 tentang Minyak Goreng Sawit Wajib Kemasan.
Setingkat di atas minyak goreng curah, ada minyak goreng kemasan sederhana. Minyak ini sudah dikemas tetapi dalam kemasan yang lebih ekonomis. Sedangkan kemasan premium menggunakan kemasan yang lebih baik, tak sederhana. Karenanya, nilai jual menjadi lebih tinggi karena termasuk harga kemasan. Â
Sebenarnya, siapa yang seharusnya paling bertanggung jawab terhadap kelangkaan minyak goreng ini: produsen atau distributor dan pengecer? Â Adakah yang bermain di 'air keruh', menimbun dan menahan produk minyak goreng sehingga menjadi langka di negara yang kaya akan sawit ini?Â
Di tengah langkanya minyak goreng, operasi pasar yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka menstabilkan harga minyak goreng tidaklah maksimal. Produk-produk minyak goreng dijual di atas HET.Â
Pengemplang tetap menjadi pemain yang mendapatkan banyak keuntungan. Sementara, masyarakat sebagai konsumen tetaplah menjadi komponen yang dibebani dengan biaya. Pendapatan menurun karena terbatasnya akses kerja akibat PKM, harus membeli produk minyak yang tetiba naiknya sangat tinggi.