Tentu saja aku terkejut, meskipun hal itu bukan merupakan sesuatu yang mustahil terjadi. Foto di halamaman surat kabar itu jelas, foto Bapak – aku selalu memanggilnya Bapak, sesuai permintaannya. Di atas foto Bapak, ada tiga huruf membentuk kata yang bisa kuucapkan : RIP (Rest In Peace).
Bapak sebenarnya adalah langgananku. Ya, Bapak sesungguhnya adalah seorang lelaki hidung belang. Pertama kencan denganku ketika aku mangkal di pinggir jalan, dan dia memintaku masuk ke dalam mobilnya, dua tahun yang lalu. Dia tanya tarifku, dan membawaku ke hotel.
Saat itu aku masih tercatat sebagai mahasiswa semester empat fakultas psikologi universitas negeri di kota S. Ayahku meninggal enam bulan sebelumnya, sedangkan Ibuku sama sekali tidak punya pekerjaan. Dua bulan kemudian aku nekat melakukan perbuatan haram ini karena aku dan Ibu butuh makan, dan aku tidak mau DO dari kuliahku. Tentu saja aku tidak melakukannya di kotaku, S. Ada kereta api yang bisa mengantarku ke kota Y sore hari, dan membawaku pulang ke S pagi harinya. Aku mencari mangsa di kota Y, tanpa perantara. Aku suka kerja sendiri. Kadang aku di Mall, kadang aku di jalanan…. tetapi dimanapun aku seorang lelaki hidung belang akan sanggat mudah menemukanku.
Kembali pada ceritaku tentang Bapak. Ternyata Bapak puas dengan pelayananku. Dia memberiku tips berlebih. Dia minta nomor HPku. Dan sejak itu Bapak jadi langgananku. Kami jadi akrab. Banyak hal yang dia tanyakan. Termasuk pertanyaan klise, “kenapa aku mau menjalani pekerjaan ini”, dan tentu saja jawaban klise juga yang kusampaikan yaitu “factor ekonomi”. Juga tentang siapa yang telah merobek selaput daraku.
Suatu ketika Bapak iseng memeriksa isi tasku, dia membuka dompetku. Menghitung uang yang ada di dompetku, membaca KTP, SIM dan Kartu Mahasiswaku. “Kau ternyata beberapa bulan lebih muda dari anak perempuanku!”
Aku tak perduli! Lelaki memang begitu. Banyak yang membiarkan nafsunya seperti kuda liar…., tak bisa mengendalikannya. Bejat! Kata orang-orang saleh. Bagiku tak masalah, uangnya tetap harum.
*****
Suatu hari setelah percintaan yang memuaskan, Bapak bertanya kepadaku, “Santi, apa kau tidak pernah berpikir tentang dosa?”
Aku memandangnya. Merasa aneh atas pertanyaannya. Aku tertawa dan mencubitnya, “Bapak sudah merasa tua?”
Dia terdiam. Ada sesuatu yang serius dipikirkannya.
*****
Setelah itu, hamper dua bulan lebih Bapak tidak pernah menghubungiku. Aku tidak berani SMS atau menelponnya, karena Bapak memang melarangku melakukan itu.
Ketika aku tengah bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang telah terjadi, tiba-tiba saja HPku bordering. Bapak mengajakku ketemu, di tempat biasa.
Di dalam kamar Bapak mengajakku duduk. Dia menggenggam tanganku erat dan memandangku. “Maafkan aku, San. Selama ini aku sudah berbuat tidak pantas terhadapmu!”
Aku tertawa. “Bapak ini apa-apaan, sih? Aku tidak bisa kalau disuruh main drama!”
Dia tampak tidak terpengaruh dengan ucapanku. “Aku serius, San....!”
“Maksud Bapak?”
“Kupikir waktuku tidak akan lama lagi….!”
“Maksud Bapak?’
“Kupikir kau bukan anak bodoh! Maukah kau mengikuti jejakku? Berhenti melakukan perbuatan yang tidak benar ini?”
“Itu yang akan Bapak lakukan?”
“Ya! Besok bukalah rekening di Bank B, aku akan transfer satu juta setiap bulannya. Tolong SMSkan nomor rekeningnya ke HPku besok, akan kubikin transaksi otomatis setiap bulannya biar aku tidak lupa. Ini uangmu seperti biasa, dan ini uang untuk saldo awal rekeningmu!”
Aku termangu-mangu.
“Bagaimana?”
“Kalau itu permintaan Bapak, akan kulakukan….!”
“Kau akan mengikuti jejakku?”
“Aku tidak janji….!”
“Terserah! Tapi jangan lupa, besok kau SMSkan nomor rekeningmu!”
*****
Sejak itu aku tidak pernah lagi ketemu Bapak. Tapi setiap bulan uang yang dijanjikannya selalu masuk dalam rekeningku. Ketika saldo rekeningku bertambah, aku selalu SMS Bapak, “Terima kasih, Pak. Uangnya sudah masuk!” Tetapi SMSku tidak pernah dibalasnya.
*****
Pagi ini, tanpa sengaja, aku membaca berita itu. Aku melihat foto Bapak di surat kabar. Saat itu aku tengah makan di warung soto langgananku, sebelum aku masuk ke stasiun, untuk membeli karcis kereta api yang akan membawaku kembali ke S. Kulihat tanggal pemakamannya, tanggal hari ini. Kulihat tanggal Koran, ternyata tertulis tanggal dua hari yang lalu. Kupikir aku cukup beruntung jika aku masih sempat mengikuti upacara pemakamannya.
Kupikir aku harus bergegas. Kupanggil taksi, dan aku segera meluncur ke rumah duka.
*****
Aku tidak terlambat. Upacara kematian itu baru saja akan dimulai ketika aku tiba. Aku duduk di bangku belakang, tapi aku masih bisa melihat peti dan foto Bapak. Aku bahkan masih bisa melihat dengan jelas, anak, istri dan cucu-cucu Bapak. Anak Bapak ada dua orang, laki-laki dan perempuan. Yang perempuan, putri bungsu Bapak, seusia denganku, cantik sekali. Yang laki-laki ganteng, sudah berputra. Cucu Bapak ada tiga orang, satu laki-laki dan dua perempuan. Ketiganya tampak gemuk dan menggemaskan. Tentu saja yang lebih kuperhatikan adalah istri Bapak. Ternyata istri Bapak juga cantik…. Jadi, apa sebenarnya yang masih kurang?
Orang-orang yang berpidato rata-rata memuji Bapak. Mereka berkata bahwa Bapak patut dijadikan teladan dan panutan. Aku diam saja, menyimak perkataan mereka. Aku berjanji untuk menyimpan sendiri sisi hitam Bapak. Bukankah setiap orang punya sisi hitamnya sendiri?
Sebenarnya aku juga sedang mempertimbangkan untuk segera berhenti dari pekerjaan hinaku. Kuliahku tinggal setahun lagi. Kupikir aku bisa mencari pekerjaan halal sambil meneruskan kuliahku. Tentang transfer otomatis dari Bapak setiap bulannya, kupikir juga akan segera berhenti. Atau mereka akan mencari rekam jejakku, dari rekening tujuan transfer dan dari HP Bapak, siapa tahu?
*****
(Di atas sebuah gerbang pemakaman umum aku membaca tulisan itu : Sak iki aku, sesuk kowe! Sekarang aku, besok kamu! Sesudah bulan Ramadhan ini berlalu, masihkah kita akan tetap ingin bikin dosa? Semoga tidak.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H