"Pagi ini hujan turun perlahan membasahi tanah yang masih lembab karena embun. Tidurku malam tadi tak sampai 4 jam. Rasa ingin buang air kecilku jauh lebih menghantui dari pada rasa kantukku. Akhirnya setelah bergulat dengan batinku sendiri, aku beranjak dari tempat tidur berlapis seprai biru. Berjalan dengan terkantuk-kantuk menuruni anak tangga, di depan meja makan ku lihat adikku sudah berpakaian rapi hendak berangkat kerja. Kemeja merah lengan panjang dengan celana jeans biru yang sudah pudar warnanya jadi seragam andalan di tempat dia bekerja. Aku melihatnya sekilas tanpa bicara sepatah kata pun dengannya. Bukan tak ingin berbagi cerita dengannya tetapi rasa ingin buang air kecilnya sudah benar-benar berada di ujung hasratnya, lagi pula mata ini masih belum dapat ku ajak berkompromi. Ritual buang air kecilku pun selesai, aku berjalan lagi menaiki tangga dan masih dengan mata terkantuk-kantuk aku berusaha untuk cepat masuk dalam kamarku dan meneruskan kembali tidurku. Laptop yang sejak semalam berada di atas kasurku masih dalam kondisi yang sama, menyala dan duduk manis di tempatnya. Aku mencoba untuk tidur kembali tetapi godaaan laptop yang menyala dan terbuka itu sangat besar untukku. Aku mencoba untuk tetap menutup mata dan melanjutkan tidurku, tetapi hal itu justru mengingatkan aku dengan hal lain yang akhir-akhir ini jadi perbincangan hangat dalam batinku serta dengan beberapa orang teman-temanku. Ahh.... kenapa harus hal ini lagi! Bukankah itu seharusnya sudah sebelas tahun berlalu? Lalu kenapa sekarang muncul kembali dan masih tetap sama. Masih sama seperti sebelas tahun lalu, masih belum punya nyali untuk mengatakannya. Akhirnya aku memilih untuk menuruti godaan laptop yang berada di sampingku. Mengecek akun beberapa jejaring sosialku, dan menuliskan hal yan terjadi pagi ini di blogku."
Itulah hal yang terjadi pada saya pagi ini. Saya mungkin orang yang tidak memiliki nyali untuk mengatakan yang sebenarnya hingga sebelas tahun berlalu. Tidur yang tidak nyenyak karena merasa ada yang mengganjal dalam hati. Pertanyaan yang selalu datang pada saya adalah samapai kapan saya akan seperti ini, menjadi orang yang tidak punya nyali mengatakan yang sebenarnya. Ketakutan saya untuk mengatakan yang sebenarnya itu jauh lebih kuat dalam hati saya, dan saya belum mampu menghancurkan tembok ketakutan, malu dan gengsi yang ada dalam diri saya itu. Katakanlah saya pengecut karena tak mampu mengahncurkan tembok saya sendiri, tapi dalam hati kecil saya yakin suatu saat pasti akan saya katakan.......
~sasa~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H