Mohon tunggu...
Mentari Mentari
Mentari Mentari Mohon Tunggu... lainnya -

hanya ingin berbagi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Untukmu Ibu) Perempuan Perkasa Nan Toleran Itu Kupanggil: "Ibu"

23 Desember 2013   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ibu,

Suara gemericik air bergantian dengan suara kompor dan panci. Menandakan ibu sudah bangun. Dengan mata terpejam setengah terbangun, aku bisa membayangkan dengan rinci: ibu mencuci piring kemudian menjerang air, setelah itu mencuci beras dan memasak nasi. Sambil menunggu nasi dan sir matang biasanya ibu akan duduk di meja dapur mengambil Rosario (tasbih) dan berdoa.Ritual ibu menyongsong hari demi hari. Ah begitu solehnya hatimu, ibu.

Ibu,

Seperti berjuta-juta ibu lainnya. Bangun tatkala seisi rumah masih terlelap dan baru beranjak keperaduan ketika kami telah tertidur. Bedanya, ibu hidup bak srikandi. Di usiamu yang ke 36, kau harus berjuang sendirian membiayai 6 orang anak yang masih kecil-kecil karena ayah telah tiada. Tanpa pensiun. Hanya kekuatan doa. Itulah yang ibu dan yakini dan tularkan pada kami,anak-anakmu.

Ada ‘omelan’ ibu yang masih terngiang hingga kini. “Hayo sembahyang, berapa banyak sih waktu berdoa dibandingkan jam-jam yang kalian habiskan untuk bermain-main dan mengobrol?” Karena itu doa menjadi nafas hidup kami.Doa pagi, doa malam dan mengikuti upacara misa di hari Minggu seolah menjadi kesatuan tak terlepaskan seperti seseorang membutuhkan makan dan minum. Doa adalah santapan rohani. Sehingga ketika aku masuk Islam, sholat 5 waktu bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan, tetapi justru menyenangkan karena suatu kewajiban berubah menjadi kebutuhan. Sholat adalah waktu curhat pada Tuhan,waktu untuk meminta, waktu untuk berdialog denganNya.

Ibu,

Engkau membuktikan bahwa perempuan bukan mahluk lemah. Walaupun nampak lemah gemulai, kau sanggup menjadi peternak ayam. Berjualan batik yang harus diambil dari Jawa Tengah. Berjualan emas bahkan menjadi pengusaha catering semua kau lakoni.

Engkau juga organisator tangguh. Kau mengatur anak-anak. Siapa yang harus mengepel lantai, siapa yang mencuci piring dan bergiliran memberi makan ayam. Juga siapa yang bertugas bertugas mengambil uang hasil penjualan telur ayam. Anak perempuan maupun anak laki-laki mendapat tugas yang sama, tidak lebih ringan atau juga tidak lebih berat.

Dipenghujung minggu, kau sering memberi kami hadiah. Bukan hadiah mewah tentunya. Cukup semangkok mi bakso lezat yang kami santap sepulang dari gereja atau masing-masing mendapat sebuah roti yang sangat yummy. Karena tidak ada uang untuk bermewah-mewah. Dua ikat rambutanpun harus dibagi menjadi 6 gunduk, sama banyak, dibagi adil berdasar besar kecilnya buah dan merah hijaunya. Ah, tatkala itu sering sekali kubayangkan, bagaimana ya rasanya memiliki buah rambutan begitu banyak sendirian?

Ibu,

Mungkinkah sosok seperti ibu yang disebut super woman? Ah, kau tak membutuhkan sebutan atau pujian. Kau hanya berjalan di jalan Tuhan. Tuhan yang tidak akan membiarkan engkau dan anak-anakmu dalam kelaparan. Bahkan engkau yakin anak-anakmu bisa bersekolah melebihi dirimu yang hanya lulus SKKP (setingkat SMP). Situasi ini mirip sekali dengan firman Allah: “Aku sebagaimana hambaku kepadaKu. Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku”(HR Turmudzi) .

Ibu,

Kau juga mengajarkan aku rajin sedekah. Ada suatu kisah yang tak pernah kulupa: Yesus berkata bahwa sedekah seorang miskin yang sanggup mendermakan keping uangnya dari hasil menyisihkan nafkahnya yang sedikit lebih berarti dibanding si kaya yang menyumbang uang dalam pundi-pundi yang sangat banyak.. Atau pengorbanan si miskin lebih berharga dibanding si kaya. Ini mirip banyak kisah pemulung dan penyapu jalan yang berhasil menyisihkan rezekinya untuk berkorban di hari Raya Idul Adha.

Walau penghasilan ibu pas-pasan ibu rajin bersedekah dengan caramu sendiri. Di setiap bulan Ramadhan, kau tak lupa membagikan beras dan uang pada tukang becak, tukang sayur, tukang bangunan dan beberapa orang yang menurut ibu kurang mampu. Pernah aku bertanya: “Kok sedekah di hari Lebaran? Bukan di hari Natal?” Jawabanmu begitu sederhana dan tepat:“Karena mereka membutuhkan dihari Lebaran, bukan di hari Natal.”Ah, ibu….. ^^

Aku juga ingat bahwa ibu juga aktif memasak bagi pastor, imam umat Khatolik yang kesehariannya mendapat ‘santunan’ makanan dari umatnya. Ibu juga kerap memasak bersama organisasi wanita Khatolik untuk penghuni lembaga pemasyarakatan (LAPAS) dan aktivitas sosial lainnya. Ah, ini mirip ajaran agama Islam bahwa dalam setiap rezeki yang kita terima terdapat hak orang lain. Ternyata ajaran agama itu universal ya bu?

Ibu,

Maafkan aku ketika kau tampak ‘tertampar’ sewaktu kuutarakan niatku masuk Islam. Ini bukan kesalahan ibu yang telah membaptis ketika aku berumur 3 hari. Ibu juga telah cukup mendidik aku dalam kepatuhan agama Khatolik. Ini adalah keyakinan yang kupercayai yang tidak dapat diperdebatkan karena hanya dapat dirasakan dalam hati .

Karena itu bertahun-tahun kemudian, aku begitu kaget ketika bertemu dengan seorang biarawati yang rupanya menjadi teman curhatmu. Dia menceritakan suatu hal yang tersimpan dan tak pernah kauutarakan. Biarawati itu berkata: “Tahukah bahwa ibu sangat bangga padamu?”

“Maksud suster?”

“Ya, dia bangga karena kamu masuk Islam bukan sekedar di mulut. Kamu menjalani dengan sholat 5 waktu, puasa dan bahkan katanya mengaji. Itu bagus, apapun agamamu adalah bagus selama menjalaninya dengan benar.”

Ah ibu, tanpa terasa air mata meleleh dipipi. Karena pernah terbersit kemarahan pada ibu. Sempat menyesali ibu yang kupikir lebih mempedulikan gunjingan orang karena ibu tokoh masyarakat Khatolik sehingga malu mempunyai anak yang berpindah agama.

Ibu,

Aku berterimakasih pada Allah karena telah lahir dari rahim seorang ibu yang cantik. Ibu yang patuh pada agama dan menularkan pada anak-anaknya. Ibu yang memberi keteladanan bagaimana cara bermasyarakat. Penuh toleransi. Penuh empati.

Ibu,

Diatas kuburmu kubersimpuh. Selamat Hari Ibu. Hanya air dan taburan bunga yang bisa kuberikan sebagai pengganti uang sekolah dan roti yang yummy. Selebihnya adalah aku meniru keteladanananmuuntuk bermanfaat bagi sesama. “Sebaik-baik manusia adalah manusia yang bisa memberi manfaat bagi orang lain” Selama mata masih bisa menatap bias mentari, lakukanlah yang terbaik…… Kata-kata indah yang tak pernah kauucapkan tapi kautunjukkan dalam perilaku nyata.

Ibu,

Beristirahatlah dengan tenang dan nyaman. Mohon restui aku mengikuti jejakmu dengan caraku sendiri. Karena setiap makhluk Tuhan mempunyai ‘tugas’nya masing-masing. Jika ibu mampu menyelasaikan tugas, akupun pasti bisa. Insya Allah.

Bandung, 23 Desember 2013.

Penjelasan:

Suster: panggilan untuk biarawati

Tugas: dalam agama Khatolik sering disebut “Salib” atau tugas penuh pengorbanan.

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community dengan judul Inilah Karya Peserta Fiksi Hari Ibu bersama Studio Kata

Silakan juga bergabung dengan group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun