Mohon tunggu...
Dean Green
Dean Green Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sastra adalah rasa\r\nSastra adalah rupa\r\nSastra adalah kata\r\n\r\nSastra bicara, menghibur, dan mengilhami...\r\n\r\nKarena sastra juga dunia...\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rasa ( Apa ini Cinta ? )

5 September 2012   23:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:52 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RASA

Aku menatap kosong ke muka…. Mencoba mencari makna dari apa yang kusaksikan. Semua begitu hambar dalam pikirku. Tak mampu kutelaah dari sudut pandang manapun.  Aku berharap ini hanyalah mimpi atau sekedar bayang  imaji. Berharap bukan ini yang sebenarnya terjadi. Tapi sia-sia belaka. Ini alam nyata. Bukan fantasi. Tak mampu untuk ku tampik keberadaannya…

***

Oh…. Sial benar  hidup ini.

Sepasang pengantin kini duduk dipelaminan.  Tawanya isyarat sebuah kebahagiaan. Raut wajahnya  pun kesankan kebahagiaan. Semua yang kulihat tunjukkan bahwa mereka sedang bahagia. ‘Bahagia’ yang dimataku adalah ‘sial’. ‘Bahagia’ yang membuatku merasa ‘murka’. Benar-benar ‘bahagia’ yang membuatku muak!.

Kulihat mata mereka sesekali berpandangan. Saling bertukar senyum sebagai  tanda cinta mereka. Mereka benar-benar bahagia….  . Ya.. mereka memang bahagia.

Aku duduk bersama tamu lain yang datang untuk memberi selamat serta ungkapan turut bahagia mereka. Mereka benar, tapi aku munafik. Aku tak bahagia dengan keadaan ini. Aku ingin menangis. Tapi aku tahu itu hanya akan menjadi air mata basi yang sama sekali tak ku butuhkan. Yang kubutuhkan sekarang adalah energi. Energi agar aku tetap bisa berada disini, energi agar aku tetap bisa bicara, dan energi untuk aku bisa menipu semua orang dengan senyum palsuku. Yang ku tahu benar, itu memang senyum munafik. Betul-betul menjijikkan, pikirku.

Ketika tak ada sapa untukku lagi. Mereka telah sibuk dengan apa yang ingin mereka lakukan sendiri. Turut larut dalam suasana bahagia yang mereka ciptakan untuk mereka, dan tentunya untuk sepasang pengantin yang berbahagia.

Inilah kesempatanku untuk tak perlu berpura-pura lagi. Diam meratapi diri yang serasa sudah tak kukenali lagi. Aku memang ingin sendiri. Aku tak butuh seorang temanpun karena ku tahu hasilnyapun akan percuma. Jemariku bermain-main mengusap gelas minuman yang sudah  kosong. Kosong seperti pikiranku, kosong seperti rasaku, kosong seperti jiwaku. Aku benar-benar kosong…. dan kosong….

Imajiku kini mulai bermain. Menjelajah bebas seperti tanpa pembatas. Alurnyapun kini mulai kupahami. Gambaran-gambaran masa lalu terpampang jelas dalam benakku. Walaupun tak teratur tapi masih mampu untuk kubaca. Gambaran itu mulai tersusun menjadi sebuah peristiwa…

***

Kala itu sesosok lelaki berdiri dihadapanku. Lampu pertokoan membuat wajahnya tak tersamarkan oleh gelap malam. Tatapannya tajam dengan wajahnya yang tampan. Dia diam, pandangannya menembus jauh kedalam mataku yang kosong, yang sedang mencoba menerka apa yang dia pikirkan melalui matanya. Kami berdiri berhadapan diatas trotoar bisu yang seolah seperti membuat kami menjadi bisu pula.

Kurasakan lama sekali kami hanya berdiri seperti ini. Tak ada yang bersuara. Hanya sesekali terdengar suara kendaraan bermotor yang lewat dengan cepat karena tak ingin berlama-lama dihimpit tengah malam. Langit pun kulihat begitu suram tanpa hiasannya yang biasa ia tampakkan untuk memikat para insan di bumi.

Aku terpaku…

Aku mulai mendengar suara keluar dari bibirnya. Suara parau yang hampir saja tak kukenali. Tatapannya masih serupa. Tak menunjukkan perubahan,

“Kau tahu perasaanku…. Tapi kau pura-pura tak tahu”

Lama aku tak bisa menjawab. Aku harus menjawab dan aku harus paksakan untuk menjawab.

“Aku benar-benar tak tahu.” Aku berbohong

“Kenapa kau lakukan itu? Tak mau tahu tentang perasaanku.

Kau mau aku gila? Baru kau mau mendengarku bicara jika aku mencintaimu?”

Aku kembali membisu. Sebuah pertanyaan yang bagiku seperti soal matematika yang sulit kupecahkan rumusnya.

“Kau tak pernah mengatakan sebelumnya padaku. Jadi aku memang tak tahu tentang perasaanmu” kata-kataku keluar  tak sejalan dengan pikirku.

Aku tahu bahwa selama ini dia mencintaiku. Dari caranya melihatku, dari tingkah polahnya ketika bersamaku. Serta ketika dia menatapku dengan terpaku. Tapi aku tak ingin tertipu dengan gelagat seperti ini. Terlalu ambigu menurutku. Aku ingin dia bicara. Aku ingin kejelasan dari semua yang menurutku hanya berupa isyarat.

Terlalu lama aku menunggu. Hanya jadi isyarat saja, atau lebih tepatnya hanya jadi misteri. Misteri yang baru saja dapat terpecahkan. Setelah aku benar-benar muak dengan ‘pertanda’ yang hampir membuatku gila, karena selalu bertanya-tanya pertanda apakah itu. Setelah aku jenuh menunggu sebuah ‘kejelasan’. Dan setelah aku punya kekasih. Barulah misteri itu terbuka lebar. Semakin lebar menunjukkan bahwa itu sudah terlambat bagiku.

“Tapi kau sudah tahu perasaanku.” Suaranya semakin terdengar parau.

“Kenapa baru sekarang kau katakana hal itu?

Kau tahu bagaimana keadaanku sekarang. Rasanya sudah bukan saatnya aku menerima ungkapan cinta dari seseorang. Yang harus kulakukan sekarang adalah setia.” Akhirnya terlontar juga maksud pikiranku.

“Harusnya kau menunggu aku mengatakannya. Harusnya kau tunggu aku untuk sekedar mencari waktu yang kurasa tepat. Tapi sayang kau tak lakukan itu untukku.”

“Aku tak bisa menunggu tanpa sesuatu yang jelas.” Aku menegaskan.

“Bolehkah aku bertanya satu hal saja padamu?”

“Tanyakan saja.” Raut mukaku pastilah tampakkan rasa bingung. Mencoba menebak apa yang ingin ia tanyakan.

Ia diam sejenak. Aku lihat ia menghela napas dalam. Seperti ingin melepas semua beban yang baru saja ia tahan.

“Apa kau mencintainya?”

Kini giliran aku yang diam. Entahlah. Aku seperti kehilangan memori. Tak kutemukan satu katapun yang bisa kugunakan untuk menjawabnya.

Aku masih mencoba mencari jawaban. Aku harus berusaha keras untuk menemukan jawabnya. Aku tak mau salah menjawab. Aku harus menjawabnya secara tepat. Aku benar-benar tak ingin salah menjawab!

“Mengapa diam? Kau tak bisa menjawabnya?” Ungkapnya benar-benar membuyarkan konsentrasiku.

Aku tak ingin terlihat bodoh dengan diam seperti ini. Dengan bingung seperti ini. Yang dimatanya memang pastilah terlihat sangat bodoh, sangat kalah, dan sangat picik.

“Aku men… mencintainya.” Jawabku yang kurasa sangat hambar.

“Benarkah?” Tatapannya isyaratkan kemenangan atas keraguanku.

“Tentu saja benar. Aku mencintainya karena dia pacarku sekarang! ” Kali ini kumantapkan jawabanku dan sebisa mungkin tak terlihat ragu.

Aku lihat ia menunduk lemah. Wajahnya sudah tak terlihat jelas olehku hingga tak dapat kuketahui lagi raut mukanya.

Kami terdiam lagi. Dan cukup lama. Kami masih bertahan berdiri seperti ini. Tak tunjukkan sedikitpun rasa lelah atau rasa jenuh. Kami benar-benar telah terhipnotis oleh perasaan kami masing-masing.

“Kalau begitu selama ini aku telah salah paham. Kupikir kau juga mencintaiku.”

Aku berusaha memaknai kata-katanya barusan. Mencoba menyelaraskan dengan apa yang sebenarnya kurasa. Kuulang lagi pertanyaannya dibenakku. Apakah aku mencintainya? Aku tak bisa menjawab. Aku sudah punya kekasih sekarang. Aku tak boleh mengkhianatinya dengan berkata aku mencintai lelaki ini. Aku tak boleh egois.

“Kalau kau katakan itu dari awal, mungkin aku bisa mempertimbangkannya.” Aku kembali menegaskan.

Ia mengangkat wajahnya dan berkata dengan tegas pula.

“Seandainya saat ini kau benar-benar sadar dengan apa yang kau katakan, pasti jawabmu tak akan seperti ini.”

Sekali lagi aku kembali terdiam. Aku rasakan sesuatu meleleh disudut mataku. Begitu cepat hingga tak mampu kuseka alirnya. Aku menunduk agar tak terlihat olehnya. Aku sedang menangis. Aku terlihat bodoh. Dan aku tak mau ia tahu itu.

Aku menghela napas dalam dan panjang. Aku harus segera mengakhiri pertemuan ini. Aku tak ingin berlama-lama diliputi oleh perasaan tak jelas yang tak mampu kutebak ini perasaan apa.

“Kujelaskan sekali lagi padamu. Harusnya kau tak bicarakan ini pada seorang gadis yang sudah punya kekasih. Harusnya sudah kau ketahui bahwa jawabku juga akan seperti ini. Aku berterimakasih karena kau telah memberi rasa cintamu untukku. Tapi sekali lagi, aku sudah punya kekasih. Aku harap kau mengerti!.”

Ia terdiam sesaat. Kemudian kulihat ia mengangguk pelan dan masih menunduk. Aku pun bergegas meninggalkan tempat itu tanpa menoleh padanya lagi. Aku semakin menjauh darinya. Aku terus mempercepat langkahku agar segera pula aku berlalu.

Aku tak tahu apa yang sedang kurasakan sekarang. Air mataku terus meleleh dengan derasnya. Sungguh tak kuhiraukan. Tapi kini semakin menjadi disertai isak ku yang sudah tak mampu kutahan. Ku tutup wajahku dengan kedua tangan. Tubuhku terkulai lemas ke jalan. Kedua lututku yang turut lemas terpaksa kugunakan untuk bertumpu. Aku menangis keras. Menangis sepuasku. Aku hanya berharap tak ada yang melihat aku dalam keadaan seperti ini. Dalam keadaanku yang hina. Begitu bodoh.

Sejak saat itu aku tak pernah ingin menemuinya lagi. Aku tak ingin merasakan perasaan aneh yang tak kurasakan bersama kekasihku sendiri. Rasa yang membuatku hampir menjadi gila. Rasa yang tak henti membuatku menyusun daftar pertanyaan, yang belum terjawab satu pun pertanyaan itu.

***

Astaga ! Terlalu lama aku mengingat peristiwa itu. Yang baru ku kenang sedetik saja lukanya sudah merajalela. Kini justru ku biarkan diriku seolah berada dalam peristiwa itu lagi. Oh sialnya. Butuh berapa lama lagi aku bisa sembuhkan luka ini?

Pelan-pelan kupaksa diriku kembali ke alam nyata. Masih ada banyak orang disini dan masih pula bergembira. Andai aku bisa merasa apa yang mereka rasa. Andai aku bisa berbahagia bersama mereka dan kedua pengantin ini. Andai aku tak merasa seperti orang sakit jiwa seperti yang kurasakan saat ini. Oh Tuhan! Bawa aku pergi dari tempat ini!

Aku rasa tubuhku semakin ringan. Pikiranku pun melayang entah kemana. Terbang seperti terbawa angin….

Aku seperti berada diantara alam sadar dan bawah sadarku. Tubuhku limbung ke lantai. Aku hanya mendengar kursi yang baru saja kududuki berderit karena ikut ambruk bersama tubuhku. Lalu kudengar suara riuh yang tak serupa dengan riuh mereka saat berpesta tadi. Sesosok lelaki meraih kepalaku dan mendongakkannya. Kukenali, dia adalah seorang pengantin pria…

Oh, bodohnya aku.. aku telah merusak acara pernikahan bahagia ini. Pengantin pria ini tak seharusnya menolongku. Aku benar-benar sangat payah!

Aku amati wajahnya… raut mukanya terpampang jelas dimukaku yang masih menyadari akan hal itu.

Kini aku kembali terbawa dalam peristiwa malam itu. Peristiwa yang sudah kumengerti arahnya saat ini. Daftar-daftar pertanyaan yang sudah kutahu jawabnya sekarang.

Kini aku memang sedang lemah. Tapi aku tak ingin melewatkan ketahuanku ini. Aku ingin memberi tahu padanya. Dan benar-benar ingin ku beri tahu…

“Kau sedang bahagia sekarang…..” kataku lemah.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Dan sekarang aku benar-benar sadar dengan apa yang kukatakan.” Air mata mengalir disudut mataku.

“Sudahlah, jangan pikirkan yang lain dulu” Ia mencoba mengingatkanku

“Tapi aku benar-benar ingin mengatakannya…”

Aku menghela nafas dalam.

“Ternyata benar….. aku memang mencintaimu… “

Selesai…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun