"Audi, aku mencintamu. Apa kau mau meneruskan hubungan ini dengan serius?" Itulah kalimat berupa pertanyaan yang kuucapkan saat akan berpisah di pertigaan jalan. Kami diam di tempat saat aku memegang tangannya.
"Ya."
Dan itu adalah jawaban terpendek yang menurutku paling istimewa saat pertama kali otakku mengenal dua huruf itu sebagai kata persetujuan.
Masa romansa percintaan tercipta dengan indah, walaupun hampir setiap hari bertemu, namun waktu seakan iri dan selalu cepat bergerak untuk menyudahi moment kebersamaan kami.
Setelah melewati masa enam bulan, jalinan kasih bersamanya mulai menghadapi masalah. Audi mulai sensitif saat melihatku selalu memegang ponsel, ia mulai merengek ketika dalam beberapa kali pertemuan, aku selalu terlambat. Gadis ini mulai mencurigai hal-hal sepele di waktu aku tak menjawab telfonnya atau tidak cepat membalas pesan sms yang dikirimnya saat itu juga.
Kebersamaan kami kini terasa horror. Audi mulai rajin memeriksa ponsel milikku. "Aku ingin tahu, apa ada gadis lain yang berkirim pesan denganmu?" katanya sambil memeriksa daftar nama teman kampus yang berjenis kelamin perempuan, kemudian menekan tanda hapus di layar dengan ujung jarinya.
Gadis itu mulai mengekangku dengan semua aturan.
Pertengkaran mulai sering menghasi pertemuan. Kecemburuan Audi mulai menjadi-jadi saat aku harus mengerjakan beberapa tugas kelompok bersama beberapa teman.
Berkali-kali ia merasa bersalah, berkali pula aku memaafkan dan berusaha melupakan. Hubungan kami mengalami pasang surut dan hampir putus. Saat tidak sanggup lagi menjalani masa percintaan, aku pun mengambil kuputusan untuk menyudahinya, tapi keinginan itu tidak seiring dengan kemauan Audi. Ia berkeras untuk mempertahankan kisah kasih kami.
"Tidak! Kau tidak boleh memutuskanku. Hubungan kita baik-baik saja," katanya dengan mengiba dan memohon.
Di depan pintu rumahnya, aku hanya bisa menatap sedih. Kami saling berdiri berhadapan di bawah sinar lampu teras. Itu adalah terakhir kalinya aku mengantarnya pulang.
"Sayang, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan. Hubungan ini sudah tidak sehat. Kau mengekang, mencurigai bahkan mencemburui dengan alasan yang tak jelas. Aku tidak sanggup lagi menjalani masa pacaran denganmu." Kutatap wajahnya yang menunduk sedih.
Audi menggeleng cepat, ia tidak mau menerima keadaan kalau hubungan kami telah usai. "Silakan kalau ingin putus, tapi aku menolak, karena aku mencintaimu," ujarnya dengan air mata yang menderas. Kedua tangannya menggenggam erat bajuku layaknya anak kecil.