Bumi Indonesia, tanah surgawi yang diwarnai oleh indahnya pelbagai macam corak budaya, adat yang mendarah daging dalam setiap rakyatnya, layaklah kebahagiaan itu menjadi milik mereka yang tinggal di sana.
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa dalam negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke ini terdiri dari bermacam-macam suku, etnis, adat, budaya, hingga kepercayaan. Hal tersebut memunculkan pola pikir yang majemuk. Para pendahulu kita yang tampaknya mengetahui hal ini dan membuat kebijakan dengan tujuan untuk menampung keberagaman tersebut, dan menjadikannya pilar bangsa. Kebijakan ini ditegaskan kembali dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan UUD 1945 pasal 28E ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang  berhak atas kebebasan untuk meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Dengan hal ini, berarti negara menghargai, dan telah menjamin kebebasan rakyat untuk mengekspresikan keberagamannya.
Namun ternyata, rakyat kurang bijaksana dalam memanfaatkan hak itu. Beberapa oknum rakyat menggembar-gemborkan pendapat mereka tanpa henti hingga tidak memberikan kesempatan bagi pihak lain untuk menyuarakan pendapat. Ada pula mereka yang enggan mengutarakan pemikirannya itu, dan ketika keputusan telah dibuat dan mereka merasa tidak puas, mereka akan mencerca, mengkritik bahwa pemerintah tidak becus, atau bahkan melakukan tindakan anarkis, tanpa memberi saran ataupun solusi.Â
Sedang yang lain lagi hanya sekedar mengikuti arus atau 'cari aman' dengan mendukung suara mayoritas, karena mereka berpikir bahwa 'mayoritaslah yang benar', padahal itu belum pasti. Menyerukan aspirasi tampaknya bukan lagi dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bersama, dan membangun bangsa, namun menjadi ajang perlombaan untuk mencari siapa yang benar dan yang salah, dan bahkan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Hal ini membuat antar pihak yang memiliki pemikiran berbeda tidak mau saling mendengarkan.
Tak sedikit konflik yang muncul akibat hal-hal di atas, seperti konflik Tolikara-Papua pada tahun 2015 yang merupakan konflik agama yang tersulut ketika pembakaran masjid dilakukan oleh umat nasrani dengan alasan suara speaker saat shalat Ied mengganggu ketenangan umum. Kemudian bentrok bernuansa SARA di Aceh Singkil akibat pembakaran gereja sebagai bentuk ketidak puasan warga terhadap kesepakatan Pemkab Aceh Singkil.Â
Konflik akibat penolakan masyarakat Rembang terhadap berdirinya pabrik semen di pegunungan Kendeng karena selain merusak lingkungan, warga desa mengatakan bahwa PT Semen Indonesia tidak menginformasikan bahwa akan didirikan pabrik semen di sana. Konflik di Kabupaten Flores Timur, NTT memperebutkan material yang berada di perbatasan desa. Ada pula akhir-akhir ini terjadi kerusuhan di YLBHI yang terjadi karena rakyat mendengar isu bahwa YLBHI mengadakan diskusi tentang Partai Komunis Indonesia, perebutan limbah ekonomi antar LSM di Karawang, bahkan bentrok antara suporter bola yang berakhir merenggut nyawa.
Dari sekian konflik yang telah disebutkan, beberapa berakhir dengan kerugian secara material, dan bahkan menimbulkan korban yang tidak sedikit. Jika konflik yang seperti ini terjadi terus-menerus, maka tidak akan ada lagi Indonesia yang satu.
Sebagai masyarakat Indonesia yang hidup pada era ini, kita patut bersyukur sebab dapat merasakan kebebasan yang tidak diperoleh dengan cuma-cuma, melainkan dengan nyawa para pahlawan. Dan sekarang, nasib Indonesia berada di tangan kita, apakah kita, sebagai masyarakat Indonesia yang cerdas, dan bermoral akan membiarkan Indonesia berjalan menuju kehancuran? Atau bangkit menyelamatkannya? Ingatlah bahwa keberagaman adalah kebanggaan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H