Hari Sabtu itu Pak Munif Chatib datang ke sekolah tempat saya mengajar. Guru-guru pada umumnya antusias karena sebagian besar dari mereka baru bertemu langsung dengan Pak Munif setelah membaca bukunya. Saya sendiri sudah pernah tiga kali menghadiri acara beliau, jadi saya sudah tidak terlalu terkejut dengan cerita-cerita dan gayanya.
Oke, setengah jam pertama masih membicarakan yang sudah pernah didengar dengan beberapa penambahan, contohnya, banyak cara menghasilkan uang oleh seorang guru, contohnya dari lesson plan bisa kita ubah dengan:
·Menulis jurnal pendidikan di website (menurut beliau satu jurnal bisa dihargai mahal dalam dollar)
·Buku ajar. Ada satu guru yang akhirnya membuat buku ajar dari rencana pengajaran yang dibuatnya. Sekolah tempat ia mengajar memproduksinya dan menjadikan buku itu sebagai acuan. Dengan royalti 10 juta per tahun ia bisa menabung untuk biaya naik haji.
Oke, itu baru pembukaan. Pembukaan yang selalu menyemangati para guru untuk tetap berjalan pada jalur yang mereka tempuh saat ini: mengajar. Tujuannya adalah meyakinkan semuanya bahwa memilih pekerjaan sebagai guru adalah mulia, walaupun masih belum dipandang berharga oleh masyarakat. Tapi, sejak kapan pendapat manusia begitu penting?
Pak Munif mulai bercerita mengenai golden ade. Golden age adalah masa mulai dari seseorang masih berbentuk janin hingga usia delapan tahun.
Kita ada baiknya belajar dari masyarakat Jepang. Di sana, ibu-ibu terus mendmpingi anak mereka dari pre natal (sebelum kelahiran) sampai kls 3 SD. Setelah itu, baru mereka berkarir kembali. Alasannya, para ibu di Jepang tidak mau melewatkan fase perkembangan penting yang dialami anak-anak mereka.
Lain Jepang, lain pula di tanah air. Pak Munif bercerita mengenai penelitiannya bersama seorang dokter kandungan. Mereka ingin membuktikan teori pengaruh musik klasik pada perkembangan janin. Dengan suatu alat, lonjakan neuron yang terjadi pada janin bisa dimonitor. Lonjakan neuron ini menunjukkan laju perkembangan si jabang bayi.
Subjek penelitian pertama adalah seorang barat, beragama Nasrani yang sedang hamil lima bulan. Ia diperdengarkan musik klasik komposisi Mozart selama delapan menit. Hasilnya, seperti yang santer dikabarkan selama ini: terjadi lompatan neuron yang pesat pada janin. Saat mendengarkan rekaman, ia terlihat sangat menikmati musik tersebut.
Seorang ibu yang lain mendapat perlakuan yang sama. Ia berasal dari Lamongan, seorang petani, muslim. Saat mendengarkan lagu klasik terlihat lompatan-lompatan neuron, namun tidak luar biasa, jauh dari harapan. Si ibu pun tampak tidak menikmati musik itu. Kemudian lagu pun diubah. Musik klasik Mozart digantikan rekaman gambang suling. Sang ibu dengan nikmat memejamkan mata hanyut dalam alunan gambang suling. Yang terlihat pada monitor: lonjakan neuron yang luar biasa pesat.
Percobaan terakhir dilakukan pada keduanya. Kedua ibu hamil diputarkan rekaman ayat suci Al Quran, yaitu surat Ar Rahman. Ternyata, pada keduanya terlihat lompatan neuron yang drastis. Efek yang sama terjadi pada dua ibu yang jelas berbeda latar belakang.
Selanjutnya Pak Munif menjawab beberapa pertanyaan yang sebenarnya sering ditanyakan guru-guru. Salah satunya adalah usia yang tepat bagi seorang anak untuk belajar membaca. Menurutnya, seorang anak perlu belajar membaca ketika keadaan atau lingkungan di sekitarnya sudah menuntut demikian. Artinya, siswa perlu diajarkan membaca ketika ia benar-benar sudah membutuhkan keterampilan itu.
Nah, bagaimana pun, obrolan bersama Pak Munif Chatib selalu menyisakan motivasi yang kembali mengingatkan para guru alasan kami memilih profesi ini dan menambah suntikan semangat baru.
Tetap semangat di tahun ajaran baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H