Terik mentari kemarau terasa membakar bumi. Angin berembus membawa aroma dedaunan yang meranggas.
Mataku menyapu ladang yang hanya tersisa beberapa batang singkong. Semenjak suamiku sakit, maka tulang punggung berpindah padaku. Aku menghidupi suami dan tiga anak, dengan cara mengolah sawah dan ladang. Namun, sawah yang hanya 400 meter per segi itu kini kering kerontang.
Sawah-sawah kami tidak memiliki air, hanya mengandalkan curah hujan setahun sekali. Sementara kami harus makan tak bisa menunggu setahun sekali. Mennyadari hal itu aku bertekad harus mengubahnya. Tekadku sudah bulat. Mimpiku hanya satu: memiliki sawah yang tergenang air. Kemudian aku menuju tebing.
Gunung itu menyimpan banyak air. Namun, semenjak Gunung Galunggung meletus, semua saluran air tertutup abu, pasir dan batu. Bagaimana caranya supaya air mengalir? Aku harus membuat lubang dan mengalirkan sepanjang empat koma lima kilometer. Jalan satu-satunya hanya dengan cara menerobos dinding batu itu.
Maka, mulai hari ini, berbekal tekad dan; sebilah linggis, seutas tali dan cangkul, aku menuju tebing. Bismilah, demi impian mengairi sawah dan ladang di kampungku, aku harus bisa. Di usia senjaku ini, tak punya siapa-siapa yang bisa dimintai pertolongan. Kalaupun ada, namun, mana mereka percaya. Mungkin dianggapnya hanya ide yang mustahil tercapai. Aku hanya dianggap wanita tua yang gila.
Setelah aku menyelesaikan pekerjaan di rumah, sawah, dan ladang dan juga mencari nafkah dengan cara kuli mencangkul, waktu luang biasanya kumanfaatkan pergi membuat saluran menuju atas tebing. Di sanalah aku mulai mencicil saluran. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi selokan. Pekerjaanku sangat banyak. Setelah pulang dari memapas tebing masih saja harus membuat besek untuk dijual ke pasar.
Setiap hari aku bolak-balik menatah tebing batu tanpa kenal lelah. Namun, karena sebagai perempuan desa sudah terbiasa dengan bekerja keras, otot-ototku lumayan kuat. Kayu gelondongan saja aku anggup pikul. Maka pekerjaan ini pun, kuyakin sanggup melaluinya.
Tidak mudah memang saat harus memanjat tebing. Aku harus berhati-hati agar tak tergelincir. Tali temali kubuat sekedar pijakan dan tumpuan agar aku tak terjatuh lalu meregang nyawa pada jurang di bawah sana.
"Woi, Eroh! Apa yang kau lakukan?" Tanya tetangga setiap kali mereka melihatku memapas bukit seorang diri.
Aku hanya terdiam. Ya percuma kuberi alasan. semenjak mereka menertawakan dan menganggap gila, aku malas berbicara. Biarlah akan kubuktikan. Batu yang keras jika setiap hari ditatah akan jebol jua.
"Mak Eroh, lebih baik kau pulang. Mustahil kau mampu melubanginya."
Aku diam saja biarkan mereka berbicara sampai bosan. Kini 45 hari aku menatah. Hari ini kupandangi dinding tebing.