" Tetaplah menjadi manusia, mengerti manusia, dan memanusiakan manusia" --- K.H. Ahmad Mustofa Bisri.
Manusia Nusantara
Memanusiakan manusia berarti belajar untuk mendengarkan, memahami, dan menghargai. Tidak segera menolak atau menyangkal pendapat lain yang untuk sesaat terdengar kurang berkenan. Dengan keterbukaan pikiran, kita melangkah untuk meninggalkan penilaian dalam berteman, serta menghargai sesama terlepas adanya perbedaan. Karena pada dasarnya, kita ---manusia sederajat di bawah langit.
79 tahun bendera merah putih berdiri, keberagaman selalu menjadi identitas kebanggaan Indonesia. Budaya, suku, ras, dan agama memancarkan warna yang menghidupi jiwa bangsa. Meski berada dalam satu rumah, Nusantara, belum semua masyarakat dapat menerima setiap pribadi. Ketika perkelahian atas perbedaan lahir, "apakah kita tidak sedang mengkhianati perjuangan para pendiri bangsa?"
Hendak Mencari Apa
Perkelahian atas perbedaan untuk berhenti telah lama dalam penantian, nyatanya pemerintah belum banyak menanamkan nilai toleransi sejak dini, khususnya melalui institusi edukasi. Perlahan, siswa Kolese Kanisius mulai melangkah untuk merajut tali persatuan kembali. Semangat pagi mentari, para pemuda berusia 17 tahun memulai hari dengan berdoa, menurut kepercayaan pribadi, sebelum memulai perjalanan.
Jari jam dinding mengarah 08:00 WIB, rombongan siswa memulai perjalanan menuju Serang. Tujuan akhir sudah terpapar jelas, tetapi apa yang mereka sedang mencari?
Teriknya matahari menampar wajah anak kota yang baru saja perpisahan dengan dunia maya mereka. Setelah sekian lama tak melihat ladang hijau dan pegunungan, siswa Kanisius telah tiba di Pondok Pesantren Terpadu Bismillah, Serang, Banten. Perbedaan yang tampak nyata dalam berpakaian dan keyakinan, tidak menjadi tembok yang memisahkan awal berkenalan dengan para santri.Â
MenghargaiÂ
Belajar memakai sarung memang sederhana, tetapi banyak Kanisian yang baru pertama kali mencobanya. Dengan bantuan para santri, rombongan siswa akhirnya dapat berpakaian selayaknya seorang santri. Meski belum genap sehari, mengenakan sarung ternyata terasa begitu nyaman bagi para pelajar. Lebih dari itu, pengalaman ini menjadi pelajaran berharga untuk menghargai pakaian dan tradisi orang lain.
"Clothes and manners do not make the man; but when he is made, they greatly improve his appearance."
-- Arthur Ashe
Berpakaian merupakan kebiasaan setempat untuk mengatur perilaku seseorang. Berpakaian sopan beragam menurut tempat, sebagaimana dalam pondok pesantren, sarung, baju koko, kopiah, dan peci menjadi pakaian yang sopan. Berbalut sarung dan bersandal sederhana, para Kanisian membangun relasi bersama dengan menghormati kehidupan para santri.Â
MendengarkanÂ
Mungkin sudah terlalu lama para Kanisian berada dalam ruangan ber-AC, Â setiap menit pun selalu terasa gerah. Lampu yang redup dikelilingi laron, kursi dan meja kayu yang sudah tidak mengkilap, serta papan tulis yang sedikit kotor menjadi pemandangan yang baru bagi mereka. Namun, bersama para santri, kelas sederhana ini menjadi tempat berdinamika selama dua hari ke depan.
Pada malam hari, para santri menggunakan kelas ini untuk belajar mengaji. Para Kanisian pun mendapatkan kesempatan untuk bergabung dalam pembelajaran tersebut. Meski kendala bahasa membuat mereka sulit memahami sepenuhnya, hal itu tidak menjadi alasan untuk tidak mendengarkan. Setiap ayat Al-Quran yang dibacakan selalu membawa pesan-pesan kebaikan yang dapat dipetik oleh siapa saja.
Memahami
Meski datang dari kota pencakar langit, tidak ada alasan untuk berpisah dengan para santri. Puluhan kanisian tidur dalam satu kamar beralas sarung menutupi dinginnya lantai putih.