Mohon tunggu...
Granito Ibrahim
Granito Ibrahim Mohon Tunggu... Desainer Grafis -

Fotografer jalanan dan penulis fiksi yang moody.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Angin Orde Baru dan Kekalahan si Kupu-kupu

16 Februari 2016   09:42 Diperbarui: 17 Februari 2016   08:53 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Nito"][/caption]

Joe Frazier terus meringsek maju seperti banteng. Matanya membengkak akibat serentetan pukulan. Lawannya terus melancarkan jab tajam dan bergerak selincah kupu-kupu dengan kekuatan tangan gorila. Penonton berteriak-teriak, ada yang memaki, ada yang meluapkan senang. Jurufoto tak henti-hentinya menekan tombol kamera di pinggir arena tanding.

Tayangan langsung adu jotos istimewa dari Madison Square Garden, New York, terpampang dari TV kecil hitam-putih di ruang tamu yang dipenuhi orang. Istri sang empunya rumah sedang hamil tua dan berharap si kupu-kupu dapat merobohkan Joe si banteng. Jantungnya ikut berdebar meski pandangannya lebih tertuju ke cangkir-cangkir kopi. Seperti biasa, suaminya selalu menyuruh menyuguhkan apa yang mereka punya untuk para tamu yang tak perlu diundang seperti siang itu.

Satu kilometer dari sana, jalanan sepi, bis Robur buatan Rusia tak terlihat menyusuri jalan. Padahal hari kerja dan tanggal muda. Anak-anak sekolah pun melewatkan jam istirahatnya mengelilingi layar kaca di rumah kepala sekolah yang letaknya persis di belakang sekolah. Laga tinju kelas berat kali ini lebih penting daripada jajanan dan limun. Kepala sekolah yang biasanya galak berdiri di belakang mereka, berkacak pinggang, gemas melihat si kupu-kupu tak langsung menamatkan si banteng.

Jakarta 1971. Ibu Kota belum lama memasuki zaman orde baru. Zaman yang diingini rakyat, seperti pula telah disuarakan kelompok aktivis mahasiswa. Rezim militer seolah membawa angin segar setelah menumbangkan Sukarno, dan berhasil menumpas komunis yang kala itu nyaris menjadi penguasa negeri.

Setahun sebelumnya Har mengunjungi Marioso di Amsterdam –salah seorang aktivis kiri yang masih dicari-cari. Keterlibatannya dengan partai komunis membuatnya mau tak mau berdiam di Belanda. Keduanya sama-sama pelukis tapi berbeda ideologi, seringkali pertemuannya diisi perdebatan politik.

Pada awal musim semi tatkala bunga-bunga tulip mulai menampakkan rekahnya, Marioso menitipkan sepucuk surat pada Har dan beberapa foto. Titipan yang membuat Har dihantui kecemasan ketika mendarat di bandara Kemayoran. Bisa-bisa dia diangkut petugas gara-gara barang-barang itu.

“Aku masih ingat bau lumpur di jalan Bendungan Hilir. Dan bayang-bayang Sri yang memantul di genangan air,” ucap Marioso di anak tangga monumen nasional Dam Square, Amsterdam.

“Mar, kautahu, sebagian dari kawan-kawan juga ada di Paris dan beberapa kota lain di Eropa ini.”

“Ya, bahkan tersisih ke seluruh penjuru dunia.”

“Tapi, Sri masih mencintaimu, aku tahu persis.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun