Mohon tunggu...
grandysihotang
grandysihotang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Beranang membaca dan lari

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kontribusi generasi z dalam Mengoptimalkan Kebijakan Fiskal untuk Keuangan Negara di Tahun Mendatang

24 Desember 2024   06:00 Diperbarui: 24 Desember 2024   02:48 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


Generasi Z, atau yang lebih dikenal dengan istilah Gen Z, merujuk pada generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Menurut Badan Pusat Statistik, Gen Z mendominasi jumlah penduduk Indonesia sebanyak 27,94%, yang setara dengan 74,93 juta jiwa. Jumlah ini cukup besar dan menggambarkan kelompok usia muda, yaitu antara 8 hingga 23 tahun. Usia ini tergolong produktif dan matang dalam merencanakan arah dan tujuan hidup ke depan. Komunita digital yang berkembang di kalangan Gen Z juga menjadi kekuatan dalam mempengaruhi kebijakan sosial dan ekonomi di tanah air.Kebijakan fiskal yang diterapkan oleh pemerintah merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, di mana fiskal mencakup segala hal terkait pajak atau pendapatan negara, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini sering kali sulit untuk diambil karena membutuhkan pemikiran yang matang dalam setiap langkahnya. Dampak kebijakan fiskal sangat penting bagi pemerintahan, terlebih pada masa awal kepemimpinan baru di negara kita yang telah mengumumkan berbagai program kerja yang bertujuan membangun negeri iniMenurut penelitian yang dilakukan oleh Subur dan Syata (2024), penerimaan pajak memegang peran strategis karena digunakan untuk mendanai berbagai program pembangunan seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Pajak yang dikelola dengan baik akan memberikan dampak positif dan mendukung visi misi pemerintah. Namun, meskipun demikian, peningkatan pajak dapat berdampak signifikan bagi masyarakat. Bahkan, kenaikan 1% saja bisa memberikan beban berat, seperti yang terjadi pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mengalami kenaikan dari 10% pada tahun 2022 menjadi 11% pada 2023 dan diperkirakan akan naik menjadi 12% pada awal 2024. Kenaikan ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.Pro dan kontra terhadap kebijakan ini sejalan dengan potensi besar yang dimiliki oleh generasi Z untuk berpartisipasi dalam setiap kebijakan pemerintah. Hal ini sejalan dengan perkataan Bapak Ir. Soekarno pada pidatonya saat Sumpah Pemuda, 10 November 1961, di mana beliau mengatakan, "Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Makna tersebut memberikan dukungan kuat tentang bagaimana generasi muda dapat memainkan peran aktif dan memiliki semangat juang untuk membantu masyarakat luas.Di tahun yang akan datang, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% berpotensi menyebabkan kenaikan harga barang pokok. Produsen kemungkinan akan menaikkan harga barang karena mereka harus membayar pajak dalam jumlah yang lebih besar kepada pemerintah, yang pada gilirannya mempengaruhi harga barang pokok di masyarakat. Produsen yang menghadapi biaya bahan baku yang semakin mahal akan mengalihkan beban tersebut pada konsumen.Kenaikan ini tentu akan berdampak signifikan pada masyarakat berpendapatan rendah, seperti buruh atau mereka yang bergaji di bawah UMR (Upah Minimum Regional) di setiap daerah. Mereka akan terpengaruh secara langsung karena porsi pengeluaran mereka untuk kebutuhan pokok lebih besar. Akibatnya, mereka akan lebih berhati-hati dalam membeli barang dan jasa non-esensial. Hal ini berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi, karena daya beli masyarakat menurun, terutama di kalangan kelompok yang paling rentan.Di sini, peran generasi muda sangat penting dalam memahami kebijakan pemerintah. Jika dihitung, kenaikan tarif PPN dari tahun 2024 ke 2025 hanya naik 1%, yaitu dari 12% menjadi 13%. Namun, berdasarkan perhitungan, beban yang harus dibayar konsumen akan tetap terasa sekitar 9%. Menurut pengamat pajak sekaligus pendiri Danny Darussalam Tax Center (DDTC), Darussalam, angka 9% ini merupakan persentase yang dibandingkan dengan PPN yang sebelumnya dibayarkan. Misalnya, jika harga barang yang dibeli adalah Rp 100.000, konsumen tersebut akan membayar Rp 112.000. Namun, berdasarkan penjelasan Menteri Keuangan, beberapa barang yang semula dikenakan PPN 12%, seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng (sebelumnya minyak curah), beban kenaikan PPN sebesar 1% akan dibayar oleh pemerintah melalui skema DTP (Dibayar untuk Pemerintah).Stimulus ini juga mengedepankan keberpihakan terhadap masyarakat. Keberpihakan itu tercermin dari penetapan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak, seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, dan jasa angkutan umum, yang tetap dibebaskan dari PPN (PPN 0%). Namun, menurut kutipan dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, kebijakan ini kurang memberikan kesan percaya diri kepada masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa pajak ini akan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Kelompok masyarakat golongan atas mungkin merasa dibedakan oleh kebijakan pemerintah yang tampaknya hanya mengenakan pajak lebih besar kepada mereka yang memiliki gaya hidup mewah.Namun, meskipun barang pokok dibebaskan dari PPN, ada kemungkinan harga barang pokok akan tetap naik. Hal ini bisa terjadi karena produsen akan menghadapi biaya barang dan jasa yang lebih mahal, yang pada akhirnya akan meningkatkan harga barang pokok. Sebagai generasi muda, kita perlu memahami dampak tersebut. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Putri dkk. (2024), kenaikan ini dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif bagi masyarakat, di antaranya mendorong terjadinya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, yang secara jangka panjang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan angka pengangguranSedangkan ketika melihat negara yang menjadi contoh, seperti Korea Selatan, yang baru berkembang menjadi negara maju pada tahun 2019, negara tersebut memiliki tarif PPN sebesar 10%. Korea Selatan menerapkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10%, yang telah berlaku selama beberapa tahun dan diterapkan pada sebagian besar barang dan jasa di negara tersebut (Mgammal et al., 2023). Begitu juga dengan negara Asia lainnya, yaitu Malaysia, yang juga memiliki tarif PPN sebesar 10%. Sehingga, kedua negara tersebut secara perlahan berhasil mengatasi ketertinggalan, terutama negara-negara dengan ekonomi rendah. Dengan banyaknya contoh dari negara yang berkembang, memberikan pelajaran bagi saya sebagai bagian dari Generasi Z untuk memberikan solusi terkait transparansi pemerintah mengenai arah penggunaan pajak dan siapa saja yang akan terkena dampak dari penggunaan pajak tersebut. Selain itu, penting juga untuk menyediakan website yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat dan memperbanyak penerimaan pajak dari sektor lain, seperti pajak karbon, serta penerapan sistem core tax untuk meminimalisir potensi penghindaran pajak yang masih banyak disalahgunakan di Indonesia. Keterbatasan pengawasan pemerintah, seperti kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang kompeten, kompleksitas peraturan, minimnya informasi perpajakan internasional, dan kurangnya infrastruktur untuk mengawasi penghindaran pajak, menjadi tantangan yang perlu diatasi (Putri dkk., 2024). Dengan metode tersebut, pemerintah dapat memungkinkan berjalanannya peraturan yang lebih baik, sebagaimana yang disarankan oleh penelitian yang dilakukan oleh Yani dkk. (2024). Diperlukan kebijakan yang adil serta edukasi masyarakat untuk meningkatkan pemahaman tentang manfaat dan dampak PPN. Pendekatan holistik dan berkelanjutan menjadikan PPN sebagai alat efektif dalam mendukung pembangunan ekonomi inklusif di Indonesia. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan PPN dapat berjalan dengan baik meskipun mungkin akan ada sedikit kontroversial di masyarakat.Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta menciptakan sistem pajak yang lebih adil dan efisien. Dalam konteks kenaikan PPN, undang-undang ini dapat menjadi dasar untuk menetapkan kebijakan yang lebih seimbang, dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat kecil sekaligus mendukung pembangunan nasional.Kenaikan PPN menjadi tantangan yang harus dihadapi bersama oleh pemerintah dan masyarakat. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mendukung pembangunan negara, dampaknya terhadap masyarakat berpendapatan rendah perlu menjadi perhatian utama. Generasi Z, sebagai kelompok yang dominan dalam populasi, memiliki peran strategis dalam mengawal transparansi kebijakan pemerintah serta menyuarakan kepentingan masyarakat kecil. Dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, kenaikan PPN dapat dikelola secara efektif untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.Kenaikan PPN menjadi tantangan yang harus dihadapi bersama oleh pemerintah dan masyarakat. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk mendukung pembangunan negara, dampaknya terhadap masyarakat berpendapatan rendah perlu menjadi perhatian utama. Komunita digital, seperti yang terlihat dalam penggunaan aplikasi #Uangkita, dapat membantu meningkatkan kesadaran dan partisipasi generasi muda dalam mendukung kebijakan ini dengan cara yang lebih transparan dan efisien. Generasi Z, sebagai kelompok yang dominan dalam populasi, memiliki peran strategis dalam mengawal transparansi kebijakan pemerintah serta menyuarakan kepentingan masyarakat kecil. Dengan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan, kenaikan PPN dapat dikelola secara efektif untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.Referensihttps://finance.detik.com/ekonomi-bisnis/d-7699043/heboh-hitung-hitungan-ppn-bukan-naik-1-tapi-9-benarkahMgammal, M. H., Al-Matari, E. M., & Alruwaili, T. F. (2023). Value-added-tax rate increases: A comparative study using difference-in-difference with an ARIMA modeling approach. Humanities and Social Sciences Communications, 10(1), 1-17.Putri, I. M. (2024). Kenaikan Ppn 12% Dan Dampaknya Terhadap Eknomi. Jurnal Ilmiah Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi (MEA), 8(2), 934-944.Subur, H., & Syata, W. M. (2024). ANALISIS DAMPAK KENAIKAN TARIF PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) TERHADAP MASYARAKAT DAN INFLASI DI INDONESIA. Jurnal Rumpun Manajemen dan Ekonomi, 1(5), 205-210.Yani, R. E., Simandalahi, E., & Nasution, A. R. (2024). Pengaruh PPN (Pajak Pertambahan Nilai) terhadap Pendapatan Nasional. Eksis: Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Bisnis, 15(1), 30-36.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun