R.E. Elson dalam bukunya ‘The Idea of Indonesia: A History’ memaparkan bahwa pada awalnya negara-bangsa Indonesia adalah gagasan luar biasa yang nyaris mustahil terjadi. Sepintas, bahan-bahan kesatuan nasional Indonesia tampak tidak menjanjikan. Sejarah Indonesia penuh noda perseteruan internal mendalam dan sering berlumur darah gara-gara perbedaan ideologi, suku, dan agama. Namun, Indonesia sebagai konsep dan negara bangsa terus ada, bahkan sedang mulai berjaya kembali (Elson, 2009). Tidak dapat dimungkiri, negara-bangsa Indonesia terbentuk oleh pergumulan berbagai macam ideologi, suku, ras, etnisitas, serta agama, yang terkonsolidasikan dalam sebuah momen bersejarah, yakni Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Dalam momen tersebut terikrarkan sebuah identitas nasional yang kelak dijadikan pelecut semangat untuk melakukan revolusi kemerdekaan.
Kesepakatan Imajinatif
Identitas nasional merupakan sebuah konsep pendefinisian ke’diri’an dalam konteks negara-bangsa, yang pada kenyataannya sangat rapuh. Artinya, tidak ada jaminan kestabilan dalam pengejawantahannya. Konsep tersebut hanya sekedar kesepakatan imajinatif yang rentan diingkari oleh pihak-pihak yang terkait (dalam hal ini masyarakat yang mengklaim diri sebagai satu kesatuan identitas nasional). Ben Anderson (1983) bahkan mengatakan bahwa bangsa adalah komunitas terbayang (imagined community).
Indonesia sebagai negara-bangsa yang memiliki masyarakat yang sangat majemuk, terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan etnisitas, memiliki kemungkinan mengalami disintegrasi yang besar. Berbagai macam suku, ras, dan etnis yang kemungkinan besar tidak pernah saling mengenal atau bertemu tersebut seolah dengan sukarela maupun ‘terpaksa’ secara imajinatif bersepakat untuk bersatu kesatuan sebagai bangsa dan negara Indonesia. Karena sifatnya yang imajinatif itulah kesepakatan tersebut laten untuk diingkari, terutama jika terjadi ketidakadilan, ketidakharmonisan, serta berbagai masalah yang memicu adanya kesalahpahaman. Inilah yang harus benar-benar dipahami oleh bangsa Indonesia, bahwa menjaga integrasi bangsa tidak hanya secara simbolis dan administratif. Pengibaran bendera merah putih di semua wilayah RI, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), upacara bendera pada hari-hari tertentu, peringatan hari-hari besar negara, semuanya hanya sekedar reproduksi ke’Indonesia’an secara administratif dan simbolis.
Common Enemy
Seperti yang diungkapkan oleh Homi K Bhabha, bahwa kesatuan dibangun melalui narasi bangsa, di mana cerita, citra, simbol dan ritual merepresentasikan makna bersama (Bhabha, 1990). Pada sisi yang lain tindakan-tindakan yang berpotensi mengakibatkan kesalahpahaman harus benar-benar dihindari.Identitas nasional pada akhirnya bukan merupakan sesuatu yang ajeg dan stabil, dia harus direproduksi secara berkelanjutan. Pada masa lampau identitas nasional ke’Indonesia’an sejatinya telah berulangkali diproduksi dan direproduksi.Perlu digarisbawahi bahwa sebagain besar produksi dan reproduksi tersebut selalu melibatkan musuh bersama (common enemy) untuk dijadikan pemantik kebersamaan dalam satu rasa, sepenanggungan, dan satu ikatan emosional. Pertama, pada masa revolusi 45 terbentuk identitas ke’Indonesia’an dengan menjadikan Belanda sebagai common enemy. Kedua, pada masa jatuhnya orde lama dan lahirnya orde baru identitas nasional direproduksidengan menjadikan Komunisme sebagai common enemy. Ketiga, pada masa-masa reformasi identitas ke’Indonesia’an semakin diperkuat dengan menjadikan Soeharto dan orde barunya sebagai common enemy. Lantas, muncul sebuah pertanyaan, haruskah selalu dengan common enemy?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H