Mohon tunggu...
Rangga Agnibaya
Rangga Agnibaya Mohon Tunggu... -

Hidup berpikir

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Agensi dan Resistensi Suporter Indonesia

6 Januari 2012   06:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:15 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis memiliki suatu pandangan bahwa dalam praktik sosial, kekuatan struktur dan individu akan saling mempengaruhi. Artinya, setiap tindakan individu tidak selalu terpengaruh atau dipengaruhi oleh struktur yang dominan, sebaliknya tindakan tersebut bisa jadi merupakan pengejawantahan potensi diri yang orisinil dari individu (yang kemungkinan besar merupakan sebuah gerak perlawanan yang dilakukan secara sadar atas struktur dominan atau dalam bahasa Antony Giddens disebut agensi, yang pada tahap lebih lanjut akan menciptakan struktur baru). Analogi yang pas untuk menggambarkan konsep tersebut adalah praktik pemain sepak bola, Cristiano Ronaldo, misalnya.

Ketika Ronaldo masih kecil dan berlatih pada sebuah sekolah sepak bola (SSB), Ronaldo akan melakukan segala praktik atau tindakan yang telah ditetapkan oleh SSB, seperti cara menendang yang benar, cara menggiring yang benar, mengontrol yang benar, dan lain sebagainya. Dalam artian ini, Ronaldo sebagai individu diciptakan oleh struktur dominan (SSB dan kaidah konvensional bermain sepak bola yang sudah paten).Namun ketika Ronaldo beranjak dewasa, dia menjadi pemain sepak bola handal dan mempunyai ciri khasnya sendiri. Ketika menemukan ciri khas bermainnya sendiri, Ronaldo pasti telah melalui tahap perlawanan atas dasar2 permainan sepak bola konvensional. Ronaldo melakukan resistensi sekaligus menunjukkan agensinya. Bahkan lebih lanjut, gaya bermain Ronaldo ditiru oleh segenap pemain-pemain junior yang kagum dengan caranya bermain. Apa artinya ini? Artinya, Ronaldo sebagai Individu menciptakan sebuah struktur baru dalam ranah permainan sepak bola. Bisa dilihat di sini bahwa resistensi dan agensi merupakan prasayarat bagi individu untuk tidak terlihat subordinat dihadapan struktur dominan.

Jika kita tarik hal ini pada fenomena suporter di Indonesia, kita bisa melihat apakah suporter Indonesia selalu ‘takluk’ oleh struktur atau sebaliknya?

Dulu ketika jaman perserikatan, Bonek memulai sebuah tradisi baru dalam bentuk fenomena suporter pergi tandang mendukung tim kesayangannya, di saat suporter2 lain belum ada yang melakukannya. Ada juga aremania yang memulai tradisi suporter kreatif dalam mendukung tim kesayangannya, di saat yang lain belum memulainya. Dari dua contoh ini dapat diambil satu kesimpulan bahwa suporter indonesia tudak selalu bertindak sesuai struktur dominan yang berlaku. Mereka memiliki agensi. Bahkan, budaya suporter tandang dan kreatif telah menjadi struktur baru yang dominan dalam ranah sepak bola kita. Ditambah lagi dengan fakta sejarah turunnya Diktator sepak bola Indonesia bernama Nurdin Halid oleh kelompok suporter yang merangsek maju, yang menandai adanya sebuah resistensi dan agensi dalam bingkai satu kata: REVOLUPSSI!!!. Ketika diktator itu tumbang, maka suporter Indonesia berhasil menciptakan sebuah kemungkinan sebuah struktur baru sepak bola Indonesia, yakni era sepak bola industri yang profesional, bersih dan jujur.

Masyarakat Posmodern harus memiliki agensi, kedirian, atau pun sikap. Terlebih lagi jika itu menyangkut kebaikan, kebenaran, dan kejujuran. Agensi tidak akan muncul pada praktik penipuan diri sendiri dan nurani. Yang benar akan selalu benar, dan yang salah akan salah di mata nurani. Nurani, sebuah ruang sempit di sudut hati kita yang paling dalam. Maka jadilah suporter yang memiliki agensi. Jangan selalu terlena dengan buaian struktur dominan. Jadilah Ronaldo yang mempunyai resitensi dan agensinya, sehingga menciptakan sebuah struktur baru.

Dalam lingkup yang lebih kecil, suporter yang mempunyai agensi tidak akan selalu mengekor apa kata manajemen klub kesayangannya. Dia akan memilah, mengategorisasikan, dan menyimpulkan kebijakan2 klub kesayangan dengan dibimbing hati nurani, lalu mengatakan: “itu baik” atau “itu buruk”. Suporter tidak selalu menjadi objek. Sekali waktu dia adalah subjek yang menciptakan. Selain itu, jika sekarang kita masih asyik berkubu-kubu dan melanggengkan permusuhan antar suporter, maka sejatinya kita masih takluk oleh struktur dominan yang ditinggalkan oleh rezim lama. Kita belum mempunyai agensi, atau usaha untuk lepas dari fakta konyol tersebut, agar tercipta struktur baru tentang fenomena suporter Indonesia yang damai dan bersahabat.

Sekarang tanya hati kita, apakah kita sudah menjadi sporter yang memiliki agensi, atau suporter yang selalu tunduk pada struktur?

Salam PAHGK!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun