Mohon tunggu...
Grafika Eka Yuda Mulya
Grafika Eka Yuda Mulya Mohon Tunggu... lainnya -

nothing

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Masih Adakah Harapan Tersisa?

27 Agustus 2011   09:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:26 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku duduk memandangi jendela tua rumahku yang basah oleh air hujan, aku pandangi nian suasana di luar yang nampak gelap karena memang listrik di desaku ini masih sangat minim.

Disini hanya ada aku dan ibuku serta rasa sepiyang selalu berkalang kabut, karena bapak sudah pergi merantau selama 5 tahun.

Masih teringat dibenakku saat dia pergi melewati pintu tua itu mengenakan kemaja kotak-kotak yang usang serta bekal yang hanya seadanya sebelum dia pergi, dia mengusap kepalaku dan berkata “tenanglah nak bapak akan segera pulang dan membawakanmu banyak mainan” lalu dia tersenyum hangat dan pergi. Tapi sekarang apa pentingnya mainan itu aku sudah berusia 12 tahun dan sudah tidak butuh mainan. Aku hanya ingin ayah pulang atau mungin hanya berbicara padanya hanya untuk memastikan dia baik-baik saja dan tidak melupakanku .

Siang ini saat aku pulang sekolah aku melihat keluarga yang sedang bermain bersama. Betapa irinya hatiku melihat hal itu sudah lama sekali aku ingin melalukannya bermain bersama Ayang dan Ibu naik kepundak Ayah dan bernyanyi bersama, tapi mau bagaimana lagi aku bahkan sudah hampir lupa suara ayah seperti apa.

Akupun hanya berlari sambir berlinang air mata menyusuri jalanan kecil menuju rumahku, saat sampai dirumah ibu bertanya kepadaku kenapa menagis? Aku hanya menggelengkan kepala dan dia pun hanya tersenyum dan mengatakan jangan bersedih.

Suatu hari pamanku dari kota datang berkunjung bersama keluarganya dan dengan polos aku bertanya “mana ayah?” dia hanya menjawab “ayahmu belum biasa pulang” aku pun langsung terdiam dan pergi kebelakang rumah. Bibiku menghampiri dan bertanya “kenapa?” aku hanya menggeleng lalu dia bertanya kembali “kamu rindu ayahmu ya?” aku pun mengangguk. Lalu dia mengeluarkan ponselnya memencet tombol-tombol yang ada dan memberikannya kepadaku “ayo kamu bisa bicara dengan ayahmu” aku meraih benda itu dan tak berapa lama terlihat sosok yang aku kenal dengan jelas dan aku pun menangis. Betapa hebat jaringan Telkomsel sampai kepelosok desapun kualitasnya masih membanggakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun