Ilustrasi/Admin (Shutterstock)
Hari kemarin tertanggal Sabtu 31 Maret 2012 adalah hari yang sangat luar biasa, sungguh entah harus senang, sedih, prihatin ataukah bahagia karena tugas kuliah terselesaikan.
Pada blok Pertumbuhan dan Perkembangan di semester 2 ini, materi perkuliahan menuntut untuk melakukan penelitian tentang anak yang mengalami kelainan mental. Autism, Down Syndrome atau GPPH (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas). Setelah 5 jam mencari Sekolah Luar Biasa, Rumah Yatim, Panti Asuhan serta perizinannya dengan segala macam penolakan ahirnya menemukan Panti Asuhan Darma yang ternyata banyak menampung anak-anak dengan kelainan mental. Tak menunda-nunda kesempatan, penelitian dengan memadupadankan data dengan check list untuk anak yang mengidap kelainan mentalpun segera terselesaikan. Saya menulis catatan ini bukan ingin menjabarkan ke singkronan hasil penelitian saya dengan buku kedokteran Ilmu Kesehatan Anak yang membahas tentang autism, GPPH ataupun kelainan tumbuh-kembang anak yang lain. Lebih dari itu hanya ingin berbagi apa yang saya rasakan hari ini.
Tante, om.. Autism bukan maunya Kliwon!
Kliwon adalah seorang anak yang putih, bersih, tampan beroma Chinese yang berumur sekitar 8 tahun. Pertama saya coba mendekat mengajak bicara tapi Kliwon tak juga menatap hingga ahirnya sedikit demi sedikit saya mengikuti ke dunia permainannya, dan sedikit demi sedikit dia mulai membalas respon dengan tertawa dan berebut tali rapia mainannya. Sayangnya itu tak bertahan lama, dia terlarut lagi dalam dunianya yang sendiri enggan berinteraksi dengan sekitarnya dan tak juga tampak keinginan berkomunikasi sedikitpun. Ketika anak lain sedang bercengkrama, jahil-menjahili, dia hanya diam didepan pintu sendiri. Ya, ini memang tanda-tanda pasti pada anak autism.
Saat mendengar dari Ayah pantinya bahwa ternyata kedua orang tuanya masih ada dan termasuk orang berada hanya karena alasan kelainan mental pada Kliwon mereka menitipkannya di panti tersebut, dan hanya sempat menengok satu kali saja, s-a-t-u k-a-l-i s-a-j-a hingga sekarang dia besar. Ini sangat tidak tepat jika dikatakan menitip, tidak ada kepedulian sama sekali!
“andaikan tante tahu bahwa Kliwon bisa lebih normal dari ini jika cepat mengkonsultasikan ke dokter ahlinya, Kliwon tak akan seperti ini! Setidaknya pun kembali pulih, Kliwon butuh tante dan om untuk menemani dia agar dia lebih baik!”, ingin rasanya berkata begitu tapi apa daya. Seakan ini tak adil, anak mana yang ingin mengidap autism? Jika saja peduli lebih awal, Kliwon kemungkinan tumbuh normal sekarang! Ini salah siapa? Argh, rasanya sesak melihat kenyataan setelah tidak peduli, dengan kedok kata “menitip” mereka simpan Kliwon di tempat seperti ini! Tidak berperasaan!
Edwin, “kakak kenalan geh?”
“kakak kenalan geh?”, terdengar suara teriak anak kecil yang sejak tadi ternyata memperhatikan. “adik namanya siapa?”, “Edwin, mbak siapa?”, “Husnul”. Aku duduk disebelahnya dan sempat mengobrol tentang kakinya yang gatal-gatal penuh bentol. Tak lama duduk, karena ada sms masuk aku minta izin untuk kearah teras lain yang ternyata hanya dari operator, ketika kembali Edwin berteriak lagi “kakak kenalan geh?”, saya fikir ini pasti ada yang ganjil pada Edwin tapi apa? Melihat teman saya yang tadi duduk disampingnya, saya tanya sebenarnya ada apa dengan Edwin. “Epilepsi”, katanya. Dan yang paling mencengangkan adalah ketika teman bilang jangankan saya yang sempat pergi sebentar, teman yang dari tadi duduk disamping Edwin telah ditanya dengan pertanyaan yang sama selama 7 kali dan berkali-kali pula ia menceritakan kakinya yang gatal itu. Pada epilepsy yang memang ciri utamanya adalah kejang yang berulang-ulang, lama kelamaan muncullah gangguan saraf, terutama di saraf otaknya. Astagfirullah, cobaan bagi Edwin sangat besar. Ketika teman ada yang menertawakan kebisaan Edwin yang ternyata memang selalu seperti itu, rasanya seakan saya yang diejek mereka, sedih agak sedikit kecewa. Bagaimana rasanya kalau mereka jadi Edwin? Senangkah jika diejek seperti itu? Dalam hati memohon, tolong jangan perlakukan mereka seperti itu lagi! Dia pantas mendapatkan hak untuk dihormati yang sama dengan kita.
Desa
Sejak pertama kali masuk panti asuhan ini, saya memang langsung akrab dengan Desa. Desa berbeda dengan anak yang lain, desa anak yang normal, komunikatif, energik dan bersahabat. Desa ternyata telah dipanti sejak dia masih bayi merah, kata Ayah Panti setelah Ibu desa melahirkannya di Rumah Sakit, desa memang langsung dititipkan dengan bekal satu botol perah ASI sang Ibu. Kini Desa berumur sekitar 5 tahun, sudah selama itu pula Desa tidak bertemu dengan Ibu biologisnya. Desa entah tahu atau tidak dengan Ibunya, dengan Ayahnya, dan saya fikir entah Ibu biologis serta Ayah biologisnya itu sekarang telah menikah atau belum? Saya tidak menjamin!
Ya Tuhan, inikah pekerti muda mudi negeri ini? Mentalnya hanya seperti ini? Nasihat orang tua tentang menjaga diri dianggap sepele, mata pelajaran budipekerti yang diberikan hanya dianggap sekedar hafalan.
Ternyata ibu dan ayah biologis Desa adalah seorang Mahasiswa, seseorang yang berpendidikan, yang telah mengenyam pendidikan perkuliahan. Dan sang Ibu hamil diluar nikah. Kawan, bukannya saya sok’ alim sok’ paling benar tapi harus menjaga diri adalah mutlak benarnya. Itu bukan sabda saya, tapi sabda alam. Saya fikir di agama apapun, tidak ada yang menghalalkan free sex dan tidak ada yang menganjurkan untuk vulgar dalam berpakaian. Satu hal yang terus terang saja membuat saya merenung adalah ketika seseorang tak lagi sungkan untuk berfoto dengan busana minim, bahkan tak berbusana dan dengan bangganya memamerkannya di dunia maya, terlebih bangga jika dia telah mengup-load visual lekuk tubuhnya. Saya tahu itu sebenarnya hak azasi seseorang, tetapi tidakkah itu terlalu……….
Yang hendak ingin disampaikan hanya ada 2 hal,
1. Tolong jangan memakai kata autis, elepsi dan sejenisnya sebagai guyonan yang biasa dilakukan. Ini mungkin tak menyinggung orang yang di ejek, tapi tak menutup kemungkinan orang yang berada disekeliling kita entah itu dari kerabat, teman ataupun tetangganya adalah seorang yang autis. Tidakkah merasakan bagaimana perasaan mereka ketika mendengarnya? Dan autis juga punya hak untuk dihargai pribadinya,
2. Budi pekerti adalah mutiara diri seseorang, dan seorang bangsa. Menjaga diri tidak hanya menjaga pribadi kita, tapi juga keluarga terlebih bagi wanita adalah derajat para wanita. Sungguh, pasti tidak ingin kan dianggap rendahan oleh para kaum pria? Yang menjaga nama kaum wanita tidak hanya saya, tapi juga anda turut menjaga nama baik kaum wanita, yang berarti juga nama baik saya, dan teman-teman kita para wanita yang lain. Mari jaga sama-sama, karena saya ataupun anda tidak bisa jalan sendiri-sendiri ini perlu konsistensi untuk saling menjaga diri dan saling mengingatkan untuk menjaga diri.
Jangan sampai ada desa desa yang lain, korban miskin akhlak pasangan muda-mudi yang dimabuk asmara buta. Kasihan desa ..
Catatan ini saya tulis bukan dengan tujuan ingin update saja di media kompasiana ini, tapi saya sungguh hanya ingin mencatatnya, dan mengingatnya dalam-dalam dengan waktu yang panjang. Puji syukur bila ada yang bersedia membaca dan menemani saya merenungi tentang fakta ini. Hari kemarin adalah hari yang jauh berbeda dari hari-hari sebelumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H